Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 September 2015

PSIKOLOGI INTELIGENSI




A.    PENGERTIAN INTELIGENSI           

    Menurut panitia istilah padagogik (1953) ia mengangkat pendapat Stern yang dimaksud dengan inteligensi adalah “daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berfikir menurut tujuannya”. Stern menitikberatkan masalah inteligensi pada soal adjustment atau penyesuaian diri terhadap masalah yang dihadapinya.2
                        Thorndike (lih. Skinner,1959) sebagai seorang tokoh koneksionalisme mengemukakan pendapatnya bahwa “intelligence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point of truth or fact.
                        Terman memberikan pengertian inteligensi sebagai “…the ability to carry on abstract thinking” ( lih. Harriman, 1958). Terman membedakan adanya ability yang berkaita lokasi dengan hal-hal yang kongkrit, dan ability yang berkaitan dengan hal-hal yang abstrak.
                        Freeman memandang inteligensi sebagai (1) capacity to integrate experiences; (2) capacity to learn; (3) capacity to perform tasks regarded by psychologist as intelectual; (4) capacity to carry on abstract thinking. (Freeman, 1959).[1]
                        Menurut Morgan, dkk. (1984) ada dua pendekatan yang pokok dalam memberikan definisi mengenai inteligensi  itu, yaitu (1) pendekatan yang melihat faktor-faktor yang membentuk inteligensi itu, yang sering disebut sebagai pendekatan faktor atau teori faktor, dan (2) pendekatan yang melihat sifat proses intelektual itu sendiri, yang sering dipandang sebagai teori orientasi-proses (process-oriented theories).[2]



B.     TEORI INTELIGENSI
Teori-teori inteligensi dapat digolongkan menjadi tiga. Penggolongan pertama adalah teori-teori yang berorientasi pada faktor tunggal, yang kedua adalah teori yang berorientasi pada dua faktor, dan yang ketiga adalah teori yang  berorientasi pada faktor ganda.[3] Berikut teori dalam inteligensi beserta nama tokohnya masing-masing :
a)      Alfred Binet (1857-1911)
Termasuk salah satu ahli psikologi yang mengatakan bahwa inteligensi bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor satuan atau faktor umum. Inteligensi menurut Binet ini merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sajalan dengan proses kematangan seseorang. Jadi untuk mengetahui seseorang cukup inteligensi atau tidak, dapat diamati dari cara dan kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan dan kemampuannya untuk mengubah arah tindakannya bila perlu.[4]
b)      Edward Lee Thorndike
Pada dasarnya, teori Thorndike bahwa inteligensi terdiri atas berbagai kemampuan fisik yang ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen. Teori ini dikategorikan dalam teori inteligensi faktor ganda. Ia mengklasifikasikan inteligensi ke dalam tiga bentuk kemampuan, yaitu (1)  Kemampuan Abstrak, yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan gagasan dan simbol-simbol, (2) Kemampuan Mekanik, yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dan kemampuan untuk dengan menggunakan alat-alat mekanis dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang memerlukan aktivitas indera-gerak, (3) Kemampuan Sosial, yaitu suatu kemampuan untuk menghadapi orang lain di sekitar diri sendiri. 
c)      Charles E. Spearman (1927)
            Teorinya terkenal dengan sebutan teori dua faktor (two-factor theory), yaitu faktor-g dan faktor-s. Awal penjelasannya mengenai teori berawal dari analisis korelasional yang dilakukan terhadap skor yang diperoleh dari tes. Hasil analisis memperlihatkan adanya interkorelasi positif.
Interkorelasi positif terjadi karena masing-masing tersebut memang mengukur faktor umum yang sama, yang dinamainya faktor-g. Sedangkan interkorelasi yang mengukur faktor yang spesifik saja disebut faktor-s. Interkorelasi yang melebihi korelasi tes menurut Spearman dikatakan sebagai petunjuk adanya faktor-kelompok.[5]
Spearman juga mengemukakan lima prinsip kuantitatif dalam kognisi, yaitu :
1.      Energy Mental. Setiap fikiran cenderung untuk menjaga total output kognitif simultannya dalam kuantitas yang tetap walau bagaimanapun variasi kualitatifnya.
2.      Kekuatan Menyimpan (retentivity). Terjadinya peristiwa kognitif menimbulkan kecenderungan untuk terulang kembali.
3.      Kelelahan. Terjadinya peristiwa kognitif menimbulkan kecenderungan untuk melawan ulangnya peristiwa tersebut.
4.      Kontrol Konatif. Intensitas kognisi dapat dikendalikan oleh konasi (motivasi).
5.      Potensi Primordial. Setiap manifestasi dari keempat prinsip kuantitatif terdahulu akan ditimbun di atas potensi awal individu yang bervariasi.
Dapat dikemukakan bahwa menurut Spearman tiap-tiap performance selalu ada faktor-g dan faktor-s, atau dapat dirumuskan : P = G + S.[6] Tetapi karena faktor-s bersifat khusus, maka individu menghadapi persoalan yang berbeda-beda maka faktor-s nya pun juga akan berbeda. Misalnya orang menghadapi 5 macam problem berbeda, maka secara skematis dapat dikemukakan sebagai berikut,
                        P1 = G + SI
                        P2 = G + S2
                        P3 = G + S3
                        P4 = G + S4
                        P5 = G + S5
d)     Louis Lein Thurstone (1938) & Thelma Gwinn Thurstone (1941)
Dari hasil analisis L.L. Trustone dan T.G. Thurstone yang dilakukan terhadap data skor rangkaian 56 tes, mereka tidak menemukan bukti mengenai adanya faktor inteligensi umum. Menurut  L.L. Trustone faktor umu tersebut memang tidak ada, yang benar adalah bahwa inteligensi dapat digambarkan sebagai kemampuan mental primer. Suatu perilaku inteligen menurut mereka adalah hasil dari bekerjanya kemampuan mental tertentu yang menjadi dasar performansi dalam tugas tertentu.
Oleh karena itu, kesimpulan mereka, terdapat sutu faktor umum lain yang lebih rendah tingkatannya yang berupa faktor-g tingkat dua, inilah yang menjadi dasar bagi semua faktor-faktor lain.
e)      Cyril Burt (1949)
Beranggapan bahwa faktor-faktor kemampuan merupakan suatu kumpuan yang mengorganisasikan secara hirarkis (Buss & Poley, 1976). Teorinya mengatakan bahwa kemampuan mental terbagi atas beberapa faktor yang berada pada tingkatan-tingkatan yang berbeda. Yaitu satu faktor Umum (general), faktor Kelompok Besar (broad group), faktor Kelompok Kecil (narrow group),dan faktor spesifik (specific).
Untuk diketahui, model hirarkis yang dikemukakan Burt pada prtimbangan analitis faktor luar, bukan didasarkan pada proses induktif yang berasal dari studi empris.
f)       Philip Ewart Vernon (1950)
Sebagaimana Burt, Vernon  mengemukakan  pula model hirarkis dalam menjelaskan teorinya mengenai inteligensi. Di bawah faktor-g terdapat dua jenis kelompok kemampuan, yaitu kemampuan verbal-educational (v:ed) dan practical-mavhanical (k:m). kemampuan ini termasuk dalam faktor inteligensi yang utama atau kelompok mayor.
Vernon sendiri berpendapat bahwa sebenarnya faktor-faktor spesifik itu tidak hanya banyak memiliki nilai praktis, dikarenakan kuarang jelas relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Maka, lebih baik membicarakan faktor yang lebih umum, karena faktor umumlah yang berkorelasi lebih konsisten dan substansial dengan masalah kehidupan sehari-hari.
g)      Joy Paul Guilford (1959)
Konsepsi Guilford dipandang sebagai kontribusinya yang sangat signifikan dalam mengembangkan teori inteligensi pada khususnya dan teori kemamuan mental pada umumnya, adalah teori mengenai structure of intellect (SI).
Model teori SI Guilford dalam bentuk sebuah kubus atau kotak berdimensi tiga yang masing-masing mewakili satu klasifikasi faktor-faktor inteligensi yang bersesuaian satau sama lain. Dimensi pertama, isi (contect), terurai dalam empat bentuk, yaitu figura (figural), simbol (syimbolic), semantic (semantic), dan perilaku (behavior). Dimensi kedua, operasi (operation), terurai dalam lima proses, yaitu kognisi (cognition), ingatan (memory), produksi konvergen (convergent production), produksi divergen (divergent production), dan evaluasi (evaluation). Dimensi ketiga, prodak (product), terurai dalam enam jenis, yaitu satuan (unit), kelas (class), relasi (relation), system (system), transformasi (tansformation), dan implikasi (implication). Dengan demikian akan terdapat 4x5x6 = 120 macam kombinasi dimensi yang merupakan faktor kemampuan yang berlainan dihipotesiskan sebagai sumber terbentuknya kemampuan-kemampuan mental yang berbeda macamnya. Dari 120 an kira-kira  nya telah dibuktikan bersifat empiris dan sisanya masih dalam penelitian.
h)      Halstead (1961)
Teori inteligensi Halstead merupakan teori yang menggunakan pendekatan neurobiologist, berkaitan dengan terdapat sejumlah fungsi otak yang berkaitan dengan inteligensi dan relatif bebas dari aspek-aspek kebudayaan. Fungsitak ini memiliki dasar biologis dan berlaku bagi fungsi otak setiap individu. Oleh karena itu, inteligensi yang dikemukakan tersebut sebagai inteligensi biologis.

i)        Donald Olding Hebb
Dalam teorinya, Hebb membedakan inteligensi atas dua macam, yaitu Inteligensi A dan Inteligensi B.
Inteligensi A merupakan kemampuan dasar manusia untuk belajar dari lingkungan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, yang ditentukan oleh kompleksitas dan kelenturan sistem saraf pusat, yang dipengaruhi oleh gen.
Inteligensi B merupakan tingkat kemampuan yang diperlihatkan oleh seseorang dalam bentuk perilaku yang dapat diamati secara langsung. Bila inteligensi A dapat dikatakan sebagai kemapuan potensial, maka inteligensi B merupakan kemampuan aktual. 
j)        Raymond Bernard Cattell (1963)
Dalam teorinya mengenai organisasi mental, Cattel mengklasifikasikan kemampuan mental menjadi dua macam, yaitu Inteligensi Fluid (gf) yang merupakan faktor bawaan biologis, dan Inteligensi Crystallized (gc) yang merefleksikan adanya pengaruh pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan dalam diri seseorang.
Inteligensi Fluid cenderung tidak berubah setelah usia 14 -15 tahun sedangkan Inteligensi Crystallized masih dapat terus berkembang sampai umur 30-40 tahunan, bahkan lebih, karena perkembangan Inteligensi Crystallized tergantung pada bertambahnya pengalaman dan pengetahuan.
k)      Jean Piaget
Teori Piaget merupakan teori inteligensi yang menekankan pada aspek perkembangan kognitif, tidak merupakan teori yang mengenai struktur inteligensi semata-mata. Ia menyimpulkan dalam prinsip teorinya bahwa daya fikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.  Konsepnya bahwa inteligensi merupakan suatu bentuk keseimbangan yang dituju oleh semua struktur kognitif.
Seringkali, cara berfikir pada tingkat inteligensi praktis tidak hanya terjadi pada anak kecil saja, tapi orang dewasa juga yaitu pada saat melakukan sesuatu tetapi tidak memahami apa yang dilakukan.
l)        Howard Gardner
Gardner merumuskan teori Inteligensi Ganda (multiple intelligence) bahwa pandangan dari sisi psikometri dan kognitif saja terlalu sempit untuk menggambarkan konsep inteligensi. Pendekatan teori ini berorientasi pada struktur inteligensi.  
Tujuh macam inteligensi berhasil diidentifikasi oleh Gardner[7], yaitu :
1.      Inteligensi Linguistik, banyak terlibat dalam membaca, menulis berbicara, danmendengar. Aktivitas linguistic terletak pada bagian otak.
2.      Intaligensi Matematik-Logis,inteligensi yang digunakan untuk memecahkan problem berbentuk logika simbolis dan matematika abstrak.
3.      Inteligensi Spatial, digunakan dalam mencari cara untuk berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain untuk mengatur isi koper agar memuat barang-barang dengan efisien.
4.      Inteligensi Musik, berfungsi dalam menyusun lagu, bernyanyi,memainkan alat musik, ataupun sekedar mendengarkan music.
5.      Inteligensi Kelincahan Tubuh, diperlukan dalam aktivitas-aktivitas atletik, menari, berjalan, dan semacamnya.
6.      Inteligensi Interpersonal, digunakan dalam berkomunikasi, saling memahami, dan berinteraksi dengan orang lain.
7.      Inteligensi Intrapersonal, sangat dibutuhkan untuk memahami diri sendiri.
Oleh karena itu, teori Gardner dimaksudkan sebagai sanggahan atas pendapat yang mengatakan hanya ada kemamuan umum sebagai konseptunggal inteligensi.
m)    Robert J. Sternberg
Teori yang dikemukakan Sternberg dikenal dengan nama teori inteligensi Triarchic. Teori yang berusaha menjelaskan secara terpadu hubungan antara (a)inteligensi dan dunia inteligensi seseorang, atau mekanisme mental yang mendasari perilaku inteligen, (b) inteligensi dan dunia eksternal seseorang, atau penggunaan mekanisme mental yang sehari-hari guna mencapai kesesuaian dengan lingkungan, dan (c) inteligensi dan pengalaman, atau peranan perantara antara dunia eksternal dan internal dalam hidup seseorang.



C.    JENIS-JENIS INTELIGENSI
                        Selain bahwa setiap individu memiliki inteligensi yang berbeda-beda , ternyata inteligensi memiliki berbagai jenis. Teori yang paling mutakhir tentang jenis-jenis inteligensi, yaitu teori multiple intelligence ‘kecerdasan majemuk’ yang dikemukakan oleh Dr. Howard Gardner[8], yaitu :
v  Kecerdasan Linguistic Verbal
                        Kecerdasan ini  berupa kemampuan untuk menyusun pikirannya dengan jelas juga mampu mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata seperti berbicara, menulis, dan membaca. Orang dengan kecerdasan verbal ini sangat cakap dalam berbahasa, menceritakan kisah, berdebat, berdiskusi, melakukan penafsiran, menyampaikan laporan dengan berbagai aktivitas.
Kecerdasan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Mampu membaca, mengerti apa yang dibaca
b.      Mampu mendengar dengan baik dan memberikan respons dalam suatu komunikasi verbal
c.       Mampu meniru suara, mempelajari bahasa, mampu membaca karya orang lain.
d.      Mampu menulis dan berbicara secara efektif
e.       Tertarik pada karya jurnalis, berdebat, pandai menyampaikan cerita.
v  Kecerdasan Logiko-Matematik
                        Ciri-cirinya adalah :
a.       Mengenal dan mengerti konsep jumlah, waktu dan prinsip sebab akibat.
b.      Mampu mengamati objek dan mengerti fungsi dari objek tersebut.
c.       Pandai dalam pemecahan masalah yang menuntut pemikiran logis.
d.      Berfikir secara matematis dengan mengumpulkan bukti-bukti membuat hipotesis merumuskan dan membangun argumentasi kuat.
v  Kecerdasan Spasial-Visual
                        Kecerdasan ini ditunjukan oleh kemampuan seseorang untuk melihat secara rinci gambar visual yang terdapat disekitarnya. Dan memiliki ciri:
a.       Senang mencoret-coret, menggambar.
b.      Senang belajar dengan grafik peta dan diagram atau alat bantu visual lainnya.
c.       Kaya akan hayalan, imaginasi dan kreatif.
d.      Menyukai poster, gambar, film dan presentasi visual lainnya.
v  Kecerdasan Ritmik-Musik
a.       Menyukai banyak alat musik
b.      Mudah mengingat lirik lagu dan peka terhadap suara-suara
v  Kecerdasan Interpersonal
a.       Mengenal emosi diri sendiri dan orang lain
b.      Termotifasi dalam mengejar tujuan hidup
c.       Mampu bekerja mandiri, mengembangkan kemempuan belajar yang berkelanjutan dan mau meningkatkan diri.



D.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTELIGENSI
            Halstead mengemukakan adanya empat faktor inteligensi[9], yaitu :
a.      Faktor Central Integrative ( C )
            Faktor ini berupa kemampuan untuk mengorganisasikan pengalaman. Fungsi faktor ini adalah penyesuaian, dimana latar belakang pengalaman seseorang dan hasil belajarnya akan akan mengintegrasikan pengalaman–pengalamannya yang baru.
b.      Faktor Abstraction (A)
            Merupakan kemampuan mengelompokkan sesuatu dengan cara yang berbeda, dan kemampuan untuk melihat kesamaan dan perbedaan yang terdapat diantara benda, konsep dan peristiwa.
c.      Faktor Power
            Merupakan kekuatan otak (power) dalam arti tenaga yang utuh. Termasuk dalam faktor ini adalah kemampuan untuk mengekang afeksi sehingga kemampuan-kemampuan rasional dan intelektual dapat tumbuh dan berkembang.
d.     Faktor Directional (D)
            Merupakan kemampuan yang memberikan arah dan sasaran bagi kemampuan-kemampuan individu. Kemampuan ini menunjukkan dengan spesifik cara mengekspresikan intelek dan perilaku.
            Kontroversi mengenai apakah inteligensi lebih ditentukan oleh faktor bawaan (genetically determined) ataukah oleh faktor lingkungan (learened) terus berlangsung. Sebenarnya , kontroversi ini tidak hanya mengenai inteligensi melainkan mengenai pula berbagai atribut psikologis lainnya dalam diri manusia, yaitu :


·        Determinasi Faktor Bawaan
            Faktor bawaan, yang disebut juga faktor keturunan atau faktor herediter, adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa ikan berenang , burung terbang, sapi berkaki empat, harimau makan daging, dan sebagainya. Hal yang sama menentukan mengapa ada manusia bermata biru, ada yang pendek, ada yang berkulit putih. Faktor herediter menentukan batas dan kemungkinan apa yang dapat terjadi pada organisme dalam lingkungan kehidupannya.
            Secara biologis, individu berkembang dari dua sel benih yaitu sel telur (ovum) yang ada pada ibu dan sel sperma yang berasal dari ayah dan akan membuahi sel telur. Sperma dan sel telur masing-masing berisi 23 kromosom, yaitu struktur yang berisi faktor-faktor herediter. Di dalam setiap kromosom terdapat struktur yang lebih kecil lagi yang di sebut gen . Gen inilah yang sesungguhnya menjadi penentu sifat-sifat unik yang akan diturunkan seperti warna mata, warna rambut, dan kulit. Pada saat terjadinya pembuahan , sel telur dan sperma menyatu membentuk suatu sel tunggal yang berisi 46 kromosom yang masing-masing 23 berasal dari ibu dan 23 berasal dari pihak ayah. Keempat puluh enam kromosom ini kemudian merupakan 23 pasangan. Setiap sel dalam kromosom membelah menjadi dua kromosom sehingga masing-masing sel baru berisi 46 kromosom yang serupa satu sama lain.
·        Determinasi Faktor Lingkungan
            Pengaruh lingkungan terhadap individu sebenarnya telah diawali sejak terjadinya pembuahan. Sejak pembuahan sampai saat kelahiran, lingkungan telah mempengaruhi calon bayi lewat ibunya. Misalnya, defisiensi kalsium dalam aliran darah sang ibu dapat menyebabkan abnormalitas tulang bayi. Seorang anak dapat terlahir cacat dikarenakan lengannya terjerat oleh tali pusat sewaktu masih dalam kandungan.
            Setelah kelahiran, pengaruh faktor lingkungan terhasap individu semakin penting dan besar. Proses yang paling berpengaruh setelah masa ini adalah proses belajar (learning) yang menyebabkan perbedaan perilaku individu satu dengan yang lainnya. Apa yang di pelajari dan diajarkan pada seseorang akan sangat menentukan apa dan bagaimana reaksi individu terhadap stimulus yang dihadapinya. Sikap, perilaku, reaksi emosional, dan semacamnya merupakan atribut yang di pelajari dari lingkungan. Lewat proses belajar, pengaruh budaya secara tidak langsung juga mempengaruhi individu. Standar dan norma sosial yang berlaku pada suatu kelompok budaya tempat individu berada akan menentukan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Norma itulah yang akan menjadi acuan individu dalam berfikir dan berperilaku.
            Demikianlah pengaruh faktor warisan yang dibawa individu sejak dalam kandungan dan pengaruh lingkungan tempat dia berada dan dibesarkan akan bersama-sama membentuk sifat dan karakter dalam diri manusia sehingga individu yang satu tidak persis sama dengan individu yang lainnya.


[1] Ibid., hlm. 192
[2] Ibid, hlm. 193
[3] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi Ed.I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offet, 1996), hlm. 14
[4] Ibid., hlm.15
[5] Ibid., hlm. 20-21
[6] Bimo Walgito, Op.Cit.,hlm.194
[7] Syariffudin Azwar, Op.Cit., hlm. 42-43
[8] http://psychologymania.wordpress.com/2011/07/09/jenis-%E2%80%93-jenis-inteligensi-menurut-howard-gardner/

[9] Ke empat faktor disebut dengan ‘Halsted’ sebagai inteligensi biologis