Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 Mei 2016

Ilmu I'jazul Qur'an




ILMU I’JAZUL QUR’AN

Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah              : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu      : Ahmad Fauzan, S.HI, M.SI




Oleh Kelompok 9 :

Yaumul Markhamah            (2021115025)
Lilis Sri Hartati                    (2021115227)
Tri Nur Khikmah                  (2021115238)
Moh. Yasin                            (2021115351)

Kelas : F
Prodi : PAI

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan, sehingga makalah yang berjudul “Ilmu I’jazul Qur’an” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini merupakan materi yang dipaparkan untuk membahas tentang  apa pengertian I’jazul Qur’an, pendapat ulama’ tentang I’jazul Qur’an, seberapa kadar kemukjizatan Al-Qur’an, aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an dan tujuan I’jaz Al-Qur’an. Semoga makalah ini bermanfaat. Aamiin.











                                                                                    Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Keistimewaan yang diberikan kepada manusia berupa kekuatan berfikir. Ternyata mampu menembus seluruh aspek kehidupan dalam menundukkan unsur-unsur kekuatan alam yang luas ini di hadapan manusia. Karena itu, Allah SWT menurunkan wahyu dan memilih seorang Rosul demi menyampaikan sebuah ajaran yang benar di muka bumi ini.
Kajian Al-Qur’an sebagai mukjizat ini berkenaan dengan kehebatan Al-Qur’an dalam menantang dan mengalahkan berbagai upaya orang-orang yang mencari atau mencari-cari kelemahan Al-Qur’an. Objek penting dalam hal ini yaitu mengenai kemukjizatan Al-Qur’an, karena dapat menjadikan manusia ingat kepada Sang Pencipta akan kebesarannya.
 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi I’jazul Qur’an?
2.      Bagaimana pandangan ulama’ terhadap I’jaz Al-Qur’an?
3.      Bagaimana kadar kemukjizatan Al-Qur’an?
4.      Apa saja aspek-aspek dalam kemukjizatan Al-Qur’an?
5.      Apa saja tujuan dari ilmu I’jazul Qur’an?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui definisi I’jazul Qur’an.
2.      Untuk mengetahui pandangan ulama’ terhadap I’jaz Al-Qur’an.
3.      Untuk mengetahui kadar kemukjizatan Al-Qur’an.
4.      Untuk mengetahui aspek-aspek dalam kemukjizatan Al-Qur’an.
5.      Untuk mengetahui tujuan dari ilmu I’jazul Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian I’jazul Qur’an
Kitab suci Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an adalah mu’jizat abadi yang membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW.
Secara etimologi mu’jizat berasal dari kata “a’jaza-yu’jizu-i’jaz” berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya atau ism fi’il (yang melemahkan) disebut mu’jiz. Tambahan ta’ marbuthah diakhir kata sehingga menjadi mu’jizah menunjukkan mubalaghah (superlatif) artinya yang sangat melemahkan. Secara terminologi yang dimaksud dengan  mu’jizat atau I’jaz Al-Qur’an adalah ketidakmampuan siapapun untuk menjawab tantangan Al-Qur’an sebagai bukti kebenaran Risalah Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an menantang siapa saja, baik manusia maupun jin, untuk membuat kitab suci seperti Al-Qur’an. Tantangan Al-Qur’an tersebut disampaikan dalam tiga tahap:
Pertama: Al-Qur’an menantang siapa saja untuk membuat seperti Al-Qur’an secara utuh. Allah SWT berfirman:
  قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى اَنْ يَٵْتُوْابِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لاَيَٵْتُوْنَ
  بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا ۝
Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS.Al-Isra’:88)

Kedua: Al-Qur’an menantang siapa saja untuk membuat seperti Al-Qur’an 10 surat saja. Allah SWT berfirman:
  اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرَاهُ قُلْ فَٵْتُوْا بِعَشْرٍسُوَرٍمِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ
  مِنْ دُوْنِ اللهِ اِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ ۝ فَٳِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكُمْ فَاعْلَمُوْا أَنَّمَا
  أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللهِ وَأَنْ لاَ ٳِلٰهَ ٳِلاَّ هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ ۝
Artinya: “Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu”, Katakanlah: “(kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasannya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?(QS.Hud: 13-14)
Ketiga: Al-Qur’an menantang siapa saja untuk membuat seperti Al-Qur’an satu surat saja. Allah SWT berfirman:
  أَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ
  ٳِنْ كُننْتُمْ صَادِقِيْنَ ۝
Artinya: “Atau (patutkah) mereka mengatakan “ Muhammad membuat-buatnya.”Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar.(QS.Yunus: 38)

Tantangan paling rendah hanya satu surat, tidak ada tantangan untuk satu ayat, satu kata atau satu huruf karena tidak relevan untuk menunjukkan kehebatan dan keistimewaan kitab suci Al-Qur’an. Satu ayat, satu kata atau satu huruf belum menunjukkan apapun. Tantangan tersebut tidak ada yang bisa menjawabnya pada masa Nabi SAW masih hidup, setelah Nabi SAW meninggal, sampai saat sekarang ini pun, dan menurut Al-Qur’an sebagaimana dinyatakan dalam surah-surah di atas sampai kapanpun tidak akan ada yang sanggup menandinginya.
Jika tidak ada seorangpun yang mampu membuat satu surat seperti Al-Qur’an, bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW dapat membuatnya? Bukankah beliau yang ummiy (tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis) dan tidak perna belajar pada siapapun.
Al-Qur’an adalah firman Allah SWT, Nabi SAW hanya berfungsi menerima, kemudian menyampaikannya kepada umat apa adanya, tanpa tambahan, pengurangan atau editing sedikitpun. Di sinilah hikmah besar kenapa Nabi SAW adalah seorang yang ummiy. Andai kata Nabi SAW pandai membaca dan menulis dan pernah belajar kepada guru tertentu, misalnya kepada pemuka ahlul kitab, tentulah orang-orang yang menentangnya dengan mudah menuduh Al-Qur’an adalah karya Nabi SAW sendiri, bukan firman Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
  وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْ مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ تَخُطُّهُ بِيَمِيْنِكَ ٳِذًا لاَرْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ ۝
Artinya: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; Andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu). “ (QS.Al-Ankabut: 48)
Jadi, kemu’jizatan Al-Qur’an harus dikaitkan dengan diri Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang yang ummiy, tidak pernah belajar dan berguru kepada siapapun, mustahil beliau bisa mengungkapkan banyak hal mulai dari masalah-masalah ghaib pada masa yang lalu, peristiwa yang akan tejadi pada masa yang akan datang, tentang langit, bumi, gunung, air, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan bermacam-macam fenomena alam yang jangankan pada zaman Nabi SAW dapat diketahui sampai zaman sekarang pun masih banyak yang belum diungkap oleh ilmu pengetahuan. Apalagi semua itu diungkapkan dengan Bahasa Arab yang sangat indah, baik dengan gaya bahasa puitis maupun prosa liris. Semuanya itu mustahil dapat dilakukan oleh Nabi jika bukan wahyu dari Allah SWT. Dari sinilah kita melihat Al-Qur’an adalah mu’jzat yang membuktikan kebenaran nubuwah dan risalah Nabi Muhammad SAW.

B.     Pendapat Ulama’ mengenai I’jaz Al-Qur’an
Semua ulama sepakat tentang kemukjizatan Al-Qur’an dalam konteksnya yang sangat luas dan sebagai satu kesatuan yang bersifat holistik. Hanya saja, mereka berlainan pendapat dalam hal pemaparan kemukjizatan Al-Qur’an secara rinci dan bagian demi bagian.
Di antara aliran yang sering disebut-sebut mengingkari kemukjizatan Al-Qur’an --- sekurang-kurangnya menyangkut aspek tertentu ---- ialah segelintir orang dari kelompok Mu’tazilah. Terutama Abu Ishaq Ibrahim An-Nazhzham (w. 321 H/933 M) yang oleh Musthafa Shadiq Ar-Rafi’I dituduh sebagai setan para teolog (syaithanul-muta-kallimin / syaithan ablul-kalam).
Menurut an-Nazhzham, kemukjizatan Al-Qur’an pada dasarnya bukan terletak pada kehebatan Al-Qur’an itu semata-mata, melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dan Allah SWT terhadap para hamba-Nya. Lebih dari itu, kata an-Nazhzham, Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi Al-Qur’an, akan tetapi juga malahan membelenggu kefasihan lidah mereka. Dalam kalimat lain, ketidakmampuan Bangsa Arab bahkan bangsa manapun untuk menandingi al-Qur’an, dalam pandangan an-Nazhzham, lebih disebabkan perasaan Allah kepada hamba-Nya melalui rekayasa sterilisasi kemampuan mereka demikian rupa ketimbang kebodohannya supaya mereka tidak berdaya menghadirkan yang sepadan Al-Qur’an, betapapun hebatnya ilmu bahasa dan pengetahuan yang mereka miliki.
Tokoh dan aliran lain yang juga dicap mengingkari i’jazal Al-Qur’an ialah al-Murtadha, dari kalangan Madzhab Syi’ah yang sependirian dengan an-Nazhzham bahwa i’jazal Al-Qur’an terjadi karena as-sharfah dari Allah. Menurutnya, Allah sengaja mematikan kreatifitas dan kemampuan orang Arab dari kemungkinan mereka menandingi Al-Qur’an. Padahal, mereka pada dasarnya berkemampuan untuk melakukan hal itu. Sharfah Allah kepada hamba-Nya inilah, sesungguhnya yang mengakibatkan (Al-Qur’an) tidak mengikuti tradisi, tambah al-Murtadha.
Tuduhan penafian i’jaz Al-Qur’an terhadap aliran Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara keseluruhan hanya disebabkan segelintir tokohnya yang dalam kasus ini an-Nazhzham dan al-Murtadha, merupakan tuduhan yang kurang etis mengingat terlalu banyak pengikut Mu’tazilah dan kaum Syi’ah yang pengakuannya tentang kemukjizatan Al-Qur’an lebih kurang sama (tidak berbeda) dengan kaum muslimin pada umumnya. Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun sesungguhnya ada juga yang membenarkan kemungkinan as-Sharfah itu terjadi. Diantaranya seperti disebutkan az-Zarqani aialah Abu Ishaq al-Isfarayani.
Pemahaman tentang as-Sharfah yang terkesan mengingkari kemukjizatan Al-Qur’an seyogyanya tidak perlu terjadi manakala disikapi secara arif dan tidak tendensius. Caranya, dihubungkan dengan sejumlah sifat Allah SWT yang dalam banyak ayat mengisyaratkan kelemah-lembutan Allah SWT, tetapi dalam ayat-ayat tertentu juga ada sifat-sifat Allah yang mengisyaratkan ketegasan dan kemaha perkasaan-Nya menghadapi orang-orang kafir yang keterlaluan.
Sedangkan an-Nazhzham dan al-Murtadha, sungguhpun keduanya dalam banyak hal memiliki interpretasi berbeda atau tepatnya bertentangan dengan orang-orang Islam kebanyakan, namun keduanya belum tentu mengingkari kemukjizatan Al-Qur’an, apalagi mengingkari kebenarannya.
Konsep as-Sharfah yang mereka kemukakan, agaknya bukan dalam konteks pengingkaran terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, melainkan sebatas argumentasi mereka tentang penyebab semua orang tidak ada yang mampu menandingi Al-Qur’an. Bedanya, jumhur ulama Islam menitikberatkan alasan ketidakmampuan menandingi Al-Qur’an itu semata-mata terletak pada keterbatasan manusia itu sendiri tanpa ada penjegalan dari Allah SWT, sementara an-Nazhzham dan al-Murtadha lebih melihat ketidakmampuan itu disebabkan unsur tekanan dari Allah SWT, bukan semata-mata ketidakmampuan manusia.
Kedua logika ini sesungguhnya akan semakin mudah dimengerti ketika dihubungkan dengan asas teologi (kalam) yang dianut masing-masing, yakni basis faham Mu’tazilah dengan konsep free will and free act atau Qadariyah-Nya di satu pihak, dengan faham semi Jabariyah yang umum dianut kaum Asy’ariyah dengan konsep kemahakuasaan mutlak Allah SWT dipihak lain.
Hanya saja memang ada kesan berbeda diantara kedua argumentasi yang dibangun masing-masing pihak diatas. Yang pertama (konsep jumhur) sama sekali tidak meniadakan kemungkinan ada tudingan untuk menyalahkan Allah SWT, sedangkan pada argumentasi kelompok kedua terkesan ada upaya ‘memojokkan’ Allah SWT. Tapi jika alasan kelompok pertama itu diarahkan kepada  kaum muslimin yang sepenuh hati mengakui kebenaran dan kemukjizatan Al-Qur’an, dan kelompok kedua dihubungkan dengan kaum kafir  yang mengingkari kebenaran dan kemukjizatan Al-Qur’an sekaligus, maka sesungguhnya tidak ada lagi kontroversi yang berarti sekitar pengakuan kemukjizatan Al-Qur’an ini. Termasuk pengakuan dan penerimaan kemukjizatan al-Qur’an yang dibangun an-Nazhzham dan al-Murtadha melalui konsep as-sharfah-nya.

C.    Kadar Kemukjizatan Al-Qur’an
Kadar kemukjizatan Al-Qur’an diperkuat dengan adanya dalil-dalil yang menetapkan bahwa Al-Qur’an al-Karim mukjizat yang paling besar bagi Nabi Muhammad SAW dan bukti-bukti ketidaksanggupan para Fushaha dan para Balagha menandinginya. Sifat-sifat Al-Qur’an yang menjadikannya sebagai kitab Allah yang terakhir dan terus-menerus dapat digunakan sesuai dengan masa, tempat dan keadaan, juga sangat diperlukan oleh umat Islam.
Abu Qasim al-Ashfahany menerangkan rahasia kemukjizatan Al-Qur’an sebagai berikut:
1.      Hissy ialah yang dapat dilihat dengan pandangan mata. Contohnya tongkat Nabi Musa as.
2.      Aqly ialah yang dapat dirasakan dengan mata hati. Contohnya seperti hakikat-hakikat ilmu yang diperoleh tanpa dipelajari.
Mengenai hissy dapat dilihat baik oleh orang-orang awam ataupun orang-orang berilmu. Sedangkan aqly hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang berilmu saja, yang mempunyai akal yang kuat dan cemerlang.

D.    Aspek-aspek Kemukjizatan Al-Qur’an
Aspek kemukjizatan dalam Al-Qur’an dapat dilihat dari dari segi sejarah dan segi ramalan masa depan. Yaitu:
1.      Aspek dari segi sejarah
Al-Qur’an menceritakan berbagai peristiwa sejarah yang dialami umat manusia pada masa lalu, bahkan mulai dari peristiwa yang terjadi sebelum manusia itu sendiri diciptakan. Al-Qur’an bercerita tentang awal mula penciptaan Adam, manusia pertama, kemudian penciptaan pasangannya (Hawa) , cerita nabi-nabi terdahulu dan umat terdahulu, baik yang patuh kepada para nabi maupun yang durhaka.
Semua kisah sejarah yang diungkapkan Al-Qur’an itu adalah fakta, bukan fiksi. Salah satu yang sudah dibuktikan secara arkeologis oleh para ilmuan adalah tentang kisah kaum ‘Ad dan Tsamud dan kota Iram yang hilang. Dalam Seminar Internasional VI Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang IPTEK yang diselenggarakan di Bandung, 29 Agustus-2 September 1994 yang lalu. Umar Anggara Jenie menyajikan paper tentang “Kisah Sejarah Purba dalam Al-Qur’an (didukung oleh penemuan-penemuan Arkeologis)”. Allah berfirman:
  أَلَمْ تَرَكَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ ۝ ٳِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ ۝ الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا
  فِي الْبِلَادِ ۝ وَثَمُوْدَاالَّذِيْنَ جَابُوْا الصَّخْرَبِالْوَادِ ۝
Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah” (QS. Al-Fajr: 6-9)
Berdasarkan ayat di atas, bahwa kaum ‘Ad dan Tsamud itu benar-benar ada, tetapi sulit untuk membuktikan eksistensi mereka secara ilmiah. Pembuktian pertama berasal dari naskah yang ditemukan di Hisn-Guhurab dekat Aden di Yaman Selatan yang ditemukan dari dalam tanah pada tahun 1834, bertuliskan: “Kami memerintah dengan menggunakan Hukum Hud”. Selanjutnya penelitian tahun 1975 menemukan kaum Tsa-mu-di yang berasal dari lempeng Ebla yang digali tahun 1975-1979 dan hasil dari analisisnya muncul pada tahun 1980-an. Salah satu lempeng ini menyebutkan nama ketiga kota: Shamutu, ‘Ad, dan Iram.
Al-Qur’an menggambarkan kota Iram sebagai sebuah kota dengan tiang-tiang yang tinggi yang belum pernah ada sebelumnya di tempat lain. Tetapi karena kaum ‘Ad yang durhaka, Allah menghancurkan kota tersebut. Dipercayai bahwa kota ini ditelan oleh padang pasir.
2.      Aspek dari segi ramalan masa depan
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa tatkala terjadi peperangan antara Persia dan Romawi (Rum), kaum musyrikin Mekah senang kalau yang menang Persia, karena sama-sama penyembah berhala. Sementara kaum Muslimin leebih senang kalau yang menang Romawi, karena mereka ahlul kitab.  Allah SWT berfirman:
  الم ۝ غُلِبَتِ الرُّوْمُ ۝ فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَ ۝
  فِي بِضْعِ سِنِيْنَ لِلّٰهِ الْأَمْرُمِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَ ۝
  بِنَصْرِاللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَالْعَزِيْزُالرَّحِيْمُ ۝
Artinya: “Alif lam mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan Bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendakinya. Dan Dia-lah Maha Prekasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Ar-Rum: 1-5)
Kaum musyrikin menantang Abu Bakar untuk taruhan membuktikan ramalan Al-Qur’an itu. Abu Bakar menyetujui, jika selama tujuh tahun tidak terjadi kemenangan Romawi itu, berarti Abu Bakar kalah. Setelah tujuh tahun tudak terjadi apa-apa, maka Abu Bakar mengadu kepada Rosulullah SAW dan setelah dua tahun berikutnya, ramalan Al-Qur’an itu menjadi kenyataan. Peperangan terjadi kembali dan Romawi dapat mengalahkan Persia. Kaum Muslimin bergembira menerima kemenangan tersebut persis seperti yang sudah diberitakan Al-Qur’an itu. Ketepatan ramalan Al-Qur’an membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah SWT.








E.     Tujuan I’jazul Qur’an
Dari pengertian i’jazul Qur’an tersebut, dapat diketahui tujuannya antara lain:
1.      Membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa mukjizat kitab Al-Qur’an,
2.      Membuktikan bahwa kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT,
3.      Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasa manusia, karena telah terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti Al-Qur’an,
4.      Menunjukkan kelemahan daya upaya rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya.


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan dan Saran

Dari pemaparan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa secara etimologi mu’jizat berasal dari kata “a’jaza-yu’jizu-i’jaz” berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Secara terminologi yang dimaksud dengan  mu’jizat atau I’jaz Al-Qur’an adalah ketidakmampuan siapapun untuk menjawab tantangan Al-Qur’an sebagai bukti kebenaran Risalah Nabi Muhammad SAW.
Semua ulama sepakat tentang kemukjizatan Al-Qur’an dalam konteksnya yang sangat luas dan sebagai satu kesatuan yang bersifat holistik. Menurut an-Nazhzham, kemukjizatan Al-Qur’an pada dasarnya bukan terletak pada kehebatan Al-Qur’an itu semata-mata, melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dan Allah SWT terhadap para hamba-Nya.
Kadar kemukjizatan Al-Qur’an menurut Abu Qasim al-Ashfahany menerangkan rahasia kemukjizatan Al-Qur’an, yakni Hissy dan Aqly.
Aspek kemukjizatan dalam Al-Qur’an dapat dilihat dari dari segi sejarah dan segi ramalan masa depan.
Demikianlah paparan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan makalah. Semoga makalah ini bermanfaat. Sekian dan terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA

Amin Suma, Muhammad. 2004. Studi Ilmu0ilmu Al-Qur’an 3.
            Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. 2013. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
            Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Ilyas, Yunahar. 2014. Kuliah Ulumul Qur’an. Yogyakarta: ITQAN Publishing.
Sya’roni, Sam’ani. Tafkirah Ulum Al-Qur’an.