Total Tayangan Halaman

Senin, 19 September 2016

Filsafat Islam: Filsafat Ketuhanan dalam Islam





FILSAFAT KETUHANAN
DALAM ISLAM

Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah              : Filsafat Islam
Dosen Pengampu      : Miftahul Huda, M.Ag


Oleh Kelompok 2 :
Nanis Failah(2021115020)
Yaumul Markhamah            (2021115025)
Baiti Iksiroh                           (2021115026)
Umi Sarwindah                     (2021115027)
Dyah Herlina                         (2021115028)
Kelas : B
Prodi : PAI

JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PEKALONGAN
2016


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan, sehingga makalah yang berjudul “Filsafat Ketuhanan dalam Islam” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Miftahul Huda, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Islam yang telah memberikan tugas ini serta membantu memberikan motivasi dan masukan dalam penyusunan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, mungkin masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran demi kesempurnaan. Semoga makalah ini bermanfaat. Aamiin.








                                                                                                Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejak dahulu hingga sekarang ini, pertanyaan tentang Tuhan adalah pertanyaan abadi dan tidak pernah selesai bahkan mungkin tidak akan pernah selesai. Akan tetapi pertanyaan itu tetap penting dan aktual.
Sebagai manusia dewasa dengan berakal budi, sudah tentu bahwa realitas keberadaannya menjadi bagian dari pemikiran dan perenungan, apalagi saat menghadapi kesulitan hidup, ditimpa bencana, dan penderitaan yang tak kuasa untuk diatasi, dipecahkan dan diselesaikannya sendiri, maka manusia menyadarkannya pada Tuhan sebagai Kekuasaan Maha Agung yang mengatur dan menentukan segala-galanya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna bertuhan?
2.      Apa saja aspek dalam pembahasan Tuhan?
3.      Bagaimana pandangan para filosof muslim tentang Tuhan?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui makna bertuhan.
2.      Untuk mengetahui aspek-aspek pembahasan Tuhan.
3.      Untuk mengetahui pandangan para filosof muslim tentang Tuhan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Bertuhan
Apakah konsepsi tentang Tuhan itu mungkin? Karena pemikiran konseptual terdiri atas definisi-definisi,atau batasan-batasan yang jelas atas berbagai faktor, yang kemudian dirangkai dalam suatu pengertian yang sistematik, bulat, utuh, koheren dan konsisten.
Secara keilmuan, Tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi objek kajian ilmu, karena kajian ilmu selalu parsial, terukur, terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang pada percobaan keilmuan.
Oleh karena itu, dalam filsafat hakikat Tuhan telah menjadi perenungan yang sangat intens, sejak Yunani Kuno bahkan hingga sampai saat ini. Dalam pemikiran Yunani Kuno, ditegaskan bahwa yang pertama menjadi sebab adanya semua ini yakni to apeiron.
Al-Qur’an menggambarkan pencarian Tuhan dengan menunjuk salah satu faktor alam yang dianggap layak sebagai Tuhan, digambarkan dalam logika Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan-Nya, dalam QS Al-An’am ayat 76-79.
Pada perkembangan selanjutnya, manusia telah mencapai peradaban yang lebih tinggi. Dari perkembangan berhala atau patung yang dibuatnya sendiri dan dipertuhankan sendiri juga. Dalam mempertuhankan dugaan dan perkiraan tentang Tuhan dapat menjatuhkan derajat dan martabat manusia sendiri. oleh karena itu, perbuatan mempersekutukan Tuhan dengan tuhan-tuhan yang lain tidak bisa diampuni, Allah berfirman dalam QS An-Nisa ayat 116 yang artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni yang mempersekutukan-Nya denfgan sesame dan mengampuni perbuatan yang selaiinya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh”.
Persepsi tentang Tuhan diperoleh melalui praktik menjalankan tata cara peribadatan kepada-Nya, yang diatur secara detail oleh agama yang dianutnya. Persepsi tentang Tuhan yang dibentuk agama ini, akan sangat tergantung bagaimana ajaran tentang Tuhan itu dikemas oleh suatu agama, jika Tuhan yang diajarkan sebagai Yang Maha Kuasa maka dengan sendirinya manusia menempatkan dirinya yang berlawanan yaitu yang maha lemah.
            Dalam konsep filsafat Islam, Allah menghendaki adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat, karena jika Allah menghendaki hanya satu umat saja tentu sangat mudah bagi Allah untuk mewujudkannya.
            Setelah mengatahui sedikit konsepsi dari persepsi tentang Tuhan, sering kali muncul dalam benak persoalan mengapa manusia membutuhkan Tuhan dalam kehidupanya? Apa makna keber-tuhanan manusia itu? Berdasarkan kronologi sejarah, sesungguhnya lahirnya kesadaran manusia akan adanya Tuhan, kekuatan diluar diri manusia yang bersiat mengatasi kehidupan secara umum, bermula dari kesadaran manusia sendiri akan keterbatasan dan kelemahan diri manusia.
            Dalam kenyataanya, manusia mendapati dirinya adalah sesuatu yang sangat kecil dibanding dengan makhluk yang lain, dan juga mendapati dirinya tidak banyak berbuat banyak dan mengatasi masalah-masalah kehidupan di alam semesta ini. Hal ini sangat terasa misalnya ketika seseorang dalam keadaan tertimpa musibah, bencana alam besar tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, sakit kronis, dan kritis.
            Dalam proses kehidupan, bertuhan memiliki setidaknya tiga aspek eksistensial, yang hal ini sangat mempengaruhi pada keberagaman, yaitu
1.      Memiliki Tuhan
            Yaitu kesadaran akan kehadiran dan kepemilikan Tuhan yang diyakininya dalam kehidupan. Kebutuhan akan memiliki Tuhan ini merupakan cara manusia untuk dapat mengatasi berbagai keterbatasan dan kelemahannya. Jika seseorang merasa memiliki Tuhan dalam kehidupanya, maka ia tidak akan khawatir, sedih dan mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupannya, karena apapun problematika yang didapatinya, ia akan dibantu Tuhan dalam menyelesaikannya.
            Dengan kesadaran akan kepemilikan ini, maka akan tumbuh dalam diri seseorang rasa optimis, berani menghadapi segala tantangan dan rintangan, rasa aman terlindungi, tenang, rasa damai sejahtera dan berkecukupan segala kebutuhan dan rasa bahagia sepanjang hidupnya.


2.      Hidup bersama Tuhan
            Cara ini bisa dipahami sebagi tindak lanjut dari kesadaran akan kepemilikan sebagaimana diatas. Artinya setelah seseorang merasa memiliki, maka dalam kehidupanya ia menyadari akan kebersamaanya hidup dengan Tuhannya. Kemanapun dan dimanapun, dalam keadaan apapun dan persoalan apapun yang dialaminya, Tuhan menyertainya.
            Namun cara dan modus ini juga bisa berarti manusia tidak merasa memiliki namun ia merasakan bahwa Tuhan yang diyakininya selalu menyertainya, terutama ketika seseorang dalam mengahadapi kesulitan, rintangan, dan tantangan hidup.
            Kesadaran ini memiliki dampak yang cukup signifikan dalam menumbuhkan sikap positif dan dampak psikologis yang sangat mendalam bagi kehidupan seseorang.
3.      Mengabdi kepada Tuhan (mode of serving)
            Untuk dapat memiliki dan agar Tuhan selalu hadir menyertai dalam setiap langkah menyelasaikan masalah hidup dan kehidupannya, maka seseorang harus melakukan amaliah yang disukai dan dikehendaki Tuhan, yaitu melakukan penyembahan kepadanya. Artinya, seseorang hars menjadi hamba (server) yang tunduk dan patuh atas perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Dengan ketaatan dan penyertaan Tuhan dalam kehidupan bersifat langgeng dan abadi.
            Pengabdian berarti manusia memiliki tujuan yang jelas dalam setiap aktivitasnya, dan berharap lebih dari apa yang sudah dijalankan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermakna dan berharga dari apa yang sudah dan sedang dijalaninya. Demikian juga ketika manusia memperoleh keberhasilan atas usaha dan kerjanya ia membutuhkan saluran yang positif sebagai pelampiasan rasa bahagia atas kesuksesan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai rasa syukur yang memiliki dimensi vertikal sekaligus juga horizontal.

B. Aspek pembahasan Tuhan
        Dalam membahas ketuhanan, setidanya ada 5 hal yang harus dicakup. Kelima cakupan tersbut adalah :
1.      Wujud
Keberadaan atau eksisteni Tuhan adalah masalah paling awal dan mendasar. Percaya akan ada atau tiadanya Tuhan, pada akhirnya sangat mempengaruhi cara dan pola kehidupan yang dijalani manusia. Untuk itu, manusia dari abad ke abad dan dari generasi ke generasi berusaha keras mencari jawaban yang argumentatif dan meyakinkan akan keberadaan Tuhan. Kuat tidaknya argumn, tergantung pada bukti-bukti yang dikemukakan. Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Argumen Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan oleh ayat-ayat al-Qur’an atau wahyu ilahi atau segala informasi yang diyakini berasal dari Tuhan.
Dalam al-Qur’an, persoalan ketuhanan merupakan masalah fundamental, sehingga banyak sekali ayat-ayat yang berkaitan dengan argumen keberadaan, dzat, sifat, nama, dan af’al Tuhan. Beberapa bukti akan eksistensi Tuhan dalam al-Qur’an adalah : Qs: Al-Ankabut (29):61,63, Yunus (10):18, al- Fathir (35):15-17
“dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).
b.      Argumen Aqli, yaitu argumen yang dikemukaan lebih merupakan produk pemikiran rasio akal manusia sepanjang yang bisa dipikirkan dan yang mungkin terpikirkan (thinkabel) diantara argumen-argumen rasional-filosofis yang dikemukakan para filosof muslim, ada yang murni penemuan akal rasionalnya, namun sebagian besar adalah argumen akal yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an. Beberapa dalil akal tersbut antara lain adalah:
1)      Dalil gerak
Seperti yang diungkapkan Aristoteles yaitu “setiap yang bergerak pasti ada yang menggerakkan” ada suatu ujung yang tidak digerakkan dan ujung itu merupakan suatu sumber segala macam gerakan dan tuuan akhir dari semua gerakan yang disebut sebagai penggerak yang tidak digerakkan (The Unmoved Mover). Ini adalah rasio murni dan diambil oleh para filosof Islam sebagai pegangan.
2)      Sebab Akibat
Setiap sesuatu tidak lepas dari hukum sebab akibat atau hukum kausalitas. Dalam mata rantai sebab akibat tersebut harus ada ujung daripada sebab, yang menjadi sebab pertama dan sekaligus sebagai sumber sebab akibat dan tujuan dari sebab akibat itu. Inilah kemudian dinamakan sebagai causa prima.
3)      Dalil Wujud
Dalil kejadian bahwa setiap yang ada pasti ada yang mengadakan. Tidak mungkin keberadaan alam ini tidak ada yang mengadakan. Secara rasio akan meniscayakan adanya wujud yang pertama yang menjadi asal dan saling fundamental sejati (haqaiq al-maujudat).
c.       Dalil Empiris
Bukti-bukti wujudnya Tuhan secara empiris maksudnya adalah bukti yang didapat dari hasil pengamatan indrawi secara langsung terhadap fenomena alam sekitar manusia, termasuk manusia itu sendiri. Dalam al-Qur’an bukti ini dikatakan sebagai bukti hasil perenungan terhadap ayat-ayat kauniyyah.
d.      Dalil psikofisik
Yaitu argumentasi yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia miteri jiwa atau ruh dapat mengantarkan kepada keberadaan Tuhan, melalui penempatan spiritual, maupun melalui daya-daya imajinatif kreatifnya untuk menggapai realitas ilahiyah, atau juga melalui fenmena mimpi, sebagaimana dialaminya para Nabi dalam menerima wahyunya.
e.       Dalil Moral
Yaitu argumen tentang nilai baik dan buruk yang ada dalam realitas kehidupan nyata ini.
2.      Dzat Tuhan
“berpikirlah tentang makhluk Allah saja dan jangan berpikir tentang Dzat Allah karena sesungguhnya kalian tidak mampu melakukanya” (HR. Thobrori).
Dengan demikian larangan berpikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat mutlak, namun melihat keadaan pemikiran seseorang. Adapun pemikiran filsafat tentang dzat Tuhan adalah sebagai berikut:
a.       Ada yang menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah akal yang sifatnya murni metafisik.
b.      Ada yang menyatakan dzat Tuhan adalah cahaya, hal ini didasarkan pada Qs. An-Nur : 35.
3.      Sifat
      Membahas sifat Tuhan tidak bisa dilepaskan dari dzat, wujudnya dan juga namanya. Sebab sifat adalah sesuatu yang melekat pada suatu realitas, yang apabila ssuatu itu lepas maka realitas tersebut telah kehilangan sebutanya. Dengan demikian pemahaman akan dzat dan maujud tuhan secara langgsung juga akan terkait dengan sifat Tuhan.
      Dalam hal ini pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu dikenal, yaitu aliran antrophomorfisme dan teophomorfisme. Yang pertama disebut tasybih, yaitu menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat-sifat kemanusiaan yang dapat dikenali secara mudah oleh manusia. sementara yang kedua, teophomorfisme atau tanzih,  yaitu ketidakserupaaan sama sekali sifat Tuhan dengan sifat manapun makhuknya, dan hanya Tuhan sendiri yang tahu hakekat sifatnya. Tasybih juga merupakan sikap emanasi Tuhan, dan Tanzih sifat mentradensikan Tuhan.
4.            Nama-nama Tuhan
      Nama adalah sebutan yang bersifat simbol, pertanda dinisbahkan kepada suatau realitis. Nama-nama Tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjukan kepada relitas Tuhan, yang mencakup wujud, dzat, dan sifat-Nya. Oleh karena itu, nama-nama Tuhan adalah kesatuan dari realitas Tuhan secara keseluruhan.
5.            Af’ al, Perbuatan Tuhan
      Yaitu apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Tuhan dalam kehidupan semesta ini. Perbuatan Tuhan, juga tidak lepas, melalui konsepsi.
C. Pandangan Para Filosof  Muslim Tentang Tuhan
1)      Al-Kindi
            Al-kindi, Alkindus, nama lengkapnya abu Yusuf ya’kub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi, lahir di Kufah, iraq sekarang, tahun 801 M, pada masa khalifahan Harun Al-Rasyid (786-809 M) dari dinasti bani Abbas (750-1258 M) nama Al-kindi sendiri dinisbatkan kepada marga atau suku leluhurnya, salah satu suku besar zaman pra-Islam.
            Pendidikan Al-Kindi dimulai di Kufah. Saat itu ia mempelajari Al-Qor’an, tata bahasa Arab, kesaatraan, ilmu hitung, fiqih dan teologi.
            Menurut Al-Kindi, filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Berdasarkan para sejarawan Arab awal menyebutkan ”Filosof Arab”, memang gagasan-gagasanya itu berasal dari Aristotelialisme Neo Platonis, namun juga benar bahwa ia meletakan gagasan itu dalam konteks baru.
            Batasan filsafat adalah risalah Al-Kindi tentang filsafat awal, berbunyi demikian: “Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia. Karena tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam berpratek ia menyesuaikan dengan kebenaran pada akhir risalahnya. Ia mensifati Allah dengan istilah “kebenaran” yang merupakan tujuan filsafat. Sejalan dengan Aristoteles, Al-Kindi menyebut Allah dengan kebenaran (Al-Haqq) yang menjadi tujuan pemikiran filsafati manusia. Maka satu yang benar (Al-Wahid al-Haqq) adalah yang pertama, sang pencipta, sang pemberi rizki atas semua ciptaaNya dan sebagainya. Gagasan Islam tentang tuhan keesaaNya, penciptaan olehNya dari keadaan dan ketergantungan semua ciptaan kepadanya. Al-Kindi menyifati Tuhan dengan sifat baru “Tuhan adalah yang benar ia tinggi dan dapat disifati hanya dengan sebutan-sebutan negatif”. Ia bukan materi tak berbentuk, tak berjumlah, tak berkualitas, tak berhubungan, juga ia tak disifati dengan ciri-ciri yang ada (Al Ma’qilat). “Ia tidak berjenis, tak tebagi dan tak berkejadian” Ia abadi.
2)      Al-Farabi
            Menurut Al-Farabi dalam teori sepuluh kecerdasanya, yang merupakan teori terpenting dalam filsafat muslim: Ia menerangkan dua dunia langit dan bumi, menafsirkan gejala gerakann dua perubahan.
            Menurut Al- Farabi, Tuhan dapat diketahui dan tidak dapat diketahui. Tuhan itu dhohir sekaligus batin. Pengetahua terbaik tentang Tuhan adalah memahami dia adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak dapat mengetahui tentang Tuhan sebab kapasitas intelektual yang dimilikinya, sebagai sarana untuk mengetahinya terbatas. Sedangkan Tuhan adalah substanti yang tidak terbatas, maka mustahil yang terbatas dapat  mencapai sempurna dan tidak terbatas. Maka Al-Farabi membuktikan eksistensi Tuhan dengan beberapa argumen, yaitu:
                                                       I.            Teori Gerak, semua yang terdapat pada alam semesta selalu bergerak, yang akan berujung pada satu hal yang mesti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak yang justru sebagai penggeraknya
                                                    II.            Penyebab Efisien (efficiency cousation), dimana adanya sebab-sebab yang beruntun yang berujung sebab dari segala sebab.
                                                 III.            Argumen Mumkinul Wujud, semua yang terdapat di dunia merupakan realitas yang mengandung kebolehjadian. Sedangkan wajibul wujud adalah sesuatu yang realitasnya menjadi keharusan dan menjadi sandaran bagi segala yang ada.
            Contoh wujud ketuhanan Al-Farabi yaitu wujud cahaya tidak akan ada tanpa adanya wujud matahari. Sedangkan cahaya menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa pula tidak atau disebutdengan mumkin al-wujud.
3)      Ibnu Sina
            Lahir pada pertengahan, Ibnu Sina mengatakan bahwa Tuhan identik dengan keberadaanNya yang mesti. Tuhan unik dalam arti bahwa Dia adalah kemaujudan yang mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diriNya sendiri dan keberadaanNya bergantung pada Tuhan, kemaujudan yang mesti itu jumlahnya harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam kemaujudan ini tidak boleh terdapat kelipatan sifat-sifatnya tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut kecuali bahwa Dia itu ada dan mesti ada. Akan tetapi, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan tentang segala sesuatu di luar dirinya pula, karena dengan mengetahui diriNya. Dia pun tak pelak lagi mengetahui kemaujudan lainnya yang berasal dariNya. Kehendak Tuhan berarti hanyalah prosesi yang mesti atas dunia dari dirinya dan kepuasan diriNya melalui pendefinisianya dengan istilah-istilah benar-benar negatif, yaitu bahwa Tuhan tidak berkehendak sehingga dunia beprosesi dariNya. Ajaran Ibnu Sina ini menghendaki bahwa adanya Tuhan itu dibedakan secara mendasar dari adanya dunia.
4)      Ibnu Rusyd
            Nama lengkapnya Abu Al-Walid Muhammad Ibn Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H atau 1126 M. Ibnu Rusyd hidup dalam kondisi politik yang sedang berkecamuk. Dia lahir pada masa pemerintahan Al-Murafiah yang gulingkan oleh golongan di Marrakusy pada tahun 542 H atau 1147 M yang menaklukan Cordova pada tahun 543 H atau 1148 M. Menurut Ibnu Rusyd pembuktian adanya Tuhan bertumpu pada dua prinsip:
                                                                               I.             Semua kemajuan sesuai dengan kamajuan manusia (dalil inayah) bahwa kesesuaian ini dikarenakan tidak terjadi dengan sendirinya.
                                                                            II.             Segala sesuatu diciptakan untuk kepentingan manusia, bintang- gemintang bersinar di malam hari agar bisa menjadi penuntun bagi manusia (dalil ikhtira).
Kemudian Ibnu Rusyd membagi sikap yang menyangkut hubungan antara zat Tuhan dengan sifat-sifatNya dengan tiga sikap.
1.      Sangkalan terhadap adanya sifat-sifat itu (sifat serba tahu, sifat hidup, sifat kuasa, sifat berkehendak, sifat mendengar, sifat melihat dan sifat berfirman).
2.      Penegasan tentang kesempurnaan sifat-sifat tersebut.
3.      Anggapan bahwa sifat-sifat tinggi dan berada di luar jangkauan penglihatan manusia. Tapi Al-Quran menegaskan sifat-sifat itu dan menyatakan bahwa “tidak ada yang menyamai Dia”.

 




BAB III
KESIMPULAN

            Manusia tidak lepas dari pertanyaan mengapa mereka membutuhkan Tuhan, dari penjelasan di atas dapat dilihat  bahwasanya Tuhan perlu dalam kehidupan ini. Adanya alam ini bukanlah semata-mata ada muncul begitu saja . Dengan adanya alam ini membuktikan bahwa ada yang mengadakan alam ini. Tuhanlah yang pada hakekatnya yang menciptakan alam ini.
            Pada hakekatnya Tuhan benar adanya, dari dalil-dalil yang dilontarkan beberapa para filosof Islam mengenai adanya Tuhan yang ada Being. Dengan adanya tuhan tentu adanya suatu aspek mengenai Tuhan. Seperti halnya Wujud, Dzat Tuhan, Sifat Tuhan, bahkan Nama-nama Tuhan, dan perilaku dari pada Tuhan. Segala yang berada dalam diri Tuhan tidak seluruhnya dapat diketahui semua makhluknya.




DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: Lesfi.
Khanafi Al-Jauharie, Imam. 2006. Filsafat Islam .Cet 1. Pekalongan: Stain Pekalongan Press.
Soleh, A Khudori . 2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam:Dari Klasik Hingga Kontemporer cet ke-2 ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media