Total Tayangan Halaman

Rabu, 16 Maret 2016

Sumber Ajaran Islam




SUMBER AJARAN ISLAM

Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah              : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu      : Miftahul Huda, M.Ag



Oleh Kelompok 2 :

                                    Anita Rahayu                       (2021115024)
Yaumul Markhamah            (2021115025)
Baiti Iksiroh                         (2021115026)
Dyah Herlina                       (2021115028)
Nana Ayu Muliawati            (2021115034)

Kelas : D
Prodi : PAI

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan, sehingga makalah yang berjudul “Sumber Ajaran Islam” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya, keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini merupakan materi yang dipaparkan untuk membahas tentang  apa saja sumber-sumber dalam ajaran Islam, bagaimana Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai sumber dasar nilai dan norma dalam Islam, serta bagaimana ijtihad sember dinamika nilai dan norma dalam Islam. Semoga makalah ini bermanfaat. Aamiin.











                                                                                    Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, Al-Qur’an ialah kitab suci yang di wahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia dan berpahala apabila dibacakannya.
Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, umat Islam sepakat bahwa As-sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua. Hal ini didasarkan pada nash, yaitu Q.S An-Nur ayat 54.
Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam telah dimulai sejak Rasulullah SAW. Beliau sering melakukan ijtihad, memerintahkan kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dan mengakui hasil ijtihad mereka.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber dasar nilai dan norma dalam Islam?
2.      Bagaimana Al-Sunah sebagai dasar operasional dan norma dalam Islam?
3.      Ijtihad sebagai sumber dinamika nilai dan norma dalam Islam?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Al-Qur’an sebagai sumber dasar nilai dan norma dalam Islam.
2.      Untuk mengetahui Al-Sunah sebagai dasar operasional dan norma dalam Islam.
3.      Untuk mengetahui Ijtihad sebagai sumber dinamika nilai dan norma dalam Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DASAR NILAI DAN NORMA DALAM ISLAM

1.      Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah SWT yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaanpun sejak manusia mengenal baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an al-Karim, yang mana bacaan itu sempurna dan mulia.
Di kalangan para ulama’ dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Al-Qur’an baik dari bahasa maupum istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari akar kata mana pun dan bukan pula ditulis dengan memakai hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah SWT) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara itu Al-Farra berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an berasal dari kata qarrain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan, karena dilihat dari segi makna dan kandungan ayat-ayatnya saling berkaitan satu sama lain. Selanjutnya Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an diambil dari akar kata qaru yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain, karena surat-surat dan ayat-ayatnya saling bergabung dan berkaitan.
Menurut Al-Qaththan yang mengutip pendapat para ulama’ pada umumnya mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani. Menurutnya Al-Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai dengan akhir surat Al-Nas. Pengertian Al-Qur’an secara lebih lengkap dikemukakan oleh Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf, Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah melalui malaikat Jibril dengan menggunakan lafal bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah yang menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada merekadan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah SWT dengan membacanya, yang terhimpun dalam mushaf,yang dissampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian.
Berkenaan dengan definisi tersebut, maka berkembanglah studi tentang Al-Qur’an baik dari segi kandungan ajarannya yang menghasilkan kitab-kitab tafsir sebagaimana kita jumpai sekarang ini. Mulai dari metode tahlili (analisis ayat per ayat) sampai dengan metode maudu’i atau tematik.
Selanjutnya para ulama’ meneliti kemukjizatan dan keistimewaan Al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Mulai dari segi keluasan kandungannya yang tidak akan ada habisnya, segi susunan kalimatnya yang mengandung unsur balaghah dan sastra yang tinggi serta tidak dapat ditandingi oleh karya-karya manusia. kemukjizatan Al-Qur’an dari segi jumlah kata-katanya yang mengandung keseimbangan dalam jumlahnya, baik dalam jumlah kata yang saling bersinonim maupun jumlah kata yang saling beranonim.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah SWT dan mutlak benar. Keberadaaan Al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan Al-Qur’an bagi manusia, karena dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Sehingga Al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat akal pikiran dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak diketahui oleh akal, sebagai petunjuk hidup mengenai sesuatu yang juga menghendaki perincian dan penjabaran oleh ayat lain atau hadits.

2.      Bukti-Bukti Otentisitas Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab yang otentisitasnya dijamin oleh Allah SWT dan senantiasa dipelihara sampai akhir zaman. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hijr ayat 9:
   اِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَاالذِّكْرَوَاِنَّالَه لَحَافِظُوْنَ.
Artinya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami-lah Pemelihara-pemeliharanya” (QS Al-Hijr:9)
Jaminan otentisitasnya tersebut diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan KemahatahuanNya, serta berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh makhlukNya, terutama manusia. Dalam ayat tersebut digunakan kata “Inna” (Sesungguhnya) dan kata “Nahnu” (Kami). Ketika ayat Al-Qur’an menggunakan kata tersebut, sebagai kata ganti “Allah”, maka mempunyai kesan perlu adanya keterlibatan pihak lain (yaitu usaha-usaha makhlukNya, terutama manusia) untuk ikut memeliharanya. Misalnya, dengan usaha meneliti secara objektif dengan menunjukkan bukti kebenarannya serta kehebatan isi dan kandungannya.[3]
3.      Fungsi Al-Qur’an:
1.      Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,
2.      Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup,
3.      Sumber pokok ajaran Islam,
4.      Al-Quran juga membuktikan kebenaran dan menjawab tantangan dari hujah-hujah tandingan,
5.      Al-Quran sebagai hakim sekaligus sebagai korektor terhadap perselisihan, ide, dan kepercayaan,
6.      Al-Quran sebagai penguat kebenaran kitab-kitab suci terdahulu yang telah mengalami perubahan.


4.      Isi Kandungan Al-Qur’an
Al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam berisi pokok-pokok ajaran yang berguna sebagai tuntunan manusia dalam menjalani kehidupan. Di antara isi kandungan Al-Quran yaitu:
1.      Ajaran Tauhid,
2.      Janji dan ancaman,
3.      Ibadah,
4.      Jalan menuju kebahagiaan hidup,
5.      Berita-berita dan cerita-cerita umat terdahulu.
Quraish Shihab mengklasifikasikan ajaran Al-Quran menjadi tiga yaitu akidah (ajaran tentang keimanan akan ke-Esaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan), syari’ah (ajaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya), dan akhlak (ajaran tentang norma-norma keagamaan dan susila yang haus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif).









B.     AL-SUNNAH SEBAGAI DASAR OPERASIONAL NILAI DAN NORMA DALAM ISLAM

1.      Pengertian Al-Sunnah
Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan pada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadits, baik pada masa Rasulullah SAW masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna hadits Nabi SAW yang artinya: “Barangsiapa yang membuat sunnah (kebiasaan yang terpuji, maka pahala bagi membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakannya. Dan barangsiapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuatnya dan dosa bagi orang yang mengerjakannya)
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga sesuatu itu lebih banyak dikerjakan daripada ditinggalkan.
Ulama’ Ushul mengartikan Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum. Sementara ulama’ Fiqh mengartikan Al-Sunnah sebagai salah satu dari bentuk hukum syara’ yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak disiksa.



2.      Fungsi Al-Sunnah
Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan Al-Qur’an. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Al-Qur’an:
1.      Bersifat global, yang secara garis besar memerlukan perincian,
2.      Bersifat umum, secara menyeluruh yang masih menghendaki pengecualian,
3.      Bersifat mutlak, yang masih sangat memerlukan pembatasan,
4.      Bersifat musytarak, yakni isyarat Al-Qur’an yang mengandung makna lebih dari satu sehingga memerlukan penetapan makna.
Terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Al-Qur’an yang selanjutnya diserahkan kepada hadits Nabi SAW. Sehingga hadits berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat Al-Qur’an yang bersifat global. Maka pemahaman Al-Qur’an dan juga pemahaman ajaran Islam yang seutuhnya tidak dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan hadits.
3.      Kehujjahan Al-Sunnah
Nabi SAW adalah seorang rasul yang maksum (terjaga dari segala perbuatan hina, dosa dan maksiat), sehingga sunnah-sunnah beliau selalu dipelihara oleh Allah SWT dari segala apa yang menurunkan citranya sebagai seorang rasul. Di dalam QS Al-Najm ayat 3-4:    وَمَايَنْتِقُ عَنِ الْهَوى اِنْ هُوَاِلاَّوَحْيٌ يُوْحى
Artinya: “Dan Nabi tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan” (QS Al-Najm: 3-4)
Sebagian ulama’ mendudukkan Nabi Muhammad SAW ke dalam dua posisi, yaitu pertama, posisinya sebagai manusia biasa atau al-basyar, sehingga beliau diperbolehkan melakukan ijtihad. Kedua, posisinya sebagai Rosulullah SAW, sehingga apapun yang diucapkan, diperbuat, dan yang ditetapkan merupakan bagian integral dari wahyu Allah SWT.

C.    IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DINAMIKA NILAI DAN NORMA DALAM ISLAM

1.      Pengertian Ijtihad
Dalam ajaran Islam, ijtihad merupakan tema yang cukup sentral terutama dalam kajian ilmu fiqih dan ilmu ushul fikih. Secara bahasa, ijtihad bersal dari kata al-tahujud berarti penumpahan kesempatan dan tenaga, Makna lain adalah dari kata dasar jahada yaitu mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Secara istilah, ijtihad mempuyai makna mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu  melebihi usahanya. Ijtihad memiliki legitimasi yang valid sebagai sumber hukum Islam ke-3 setelah Al-Quran dan Hadits. Ijtihad dibagi tiga objek yaitu:
1.      Ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash,
2.      Ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan disepakati,
3.      Ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu.

2.      Kualifikasi Mujtahid
Persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid secara langsung berkaitan dengan kualitas hasil ijtihad. Para ulama pada umumnya menyebut syarat-syarat keahlian bagi mujtahid adalah:
1.      Pemahaman terhadap Al-Quran,
2.      Pemahaman terhadap sunnah,
3.      Kemampuan bahasa Arab.



3.      Syarat-syarat Seorang Mujtahid
1.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah hukum. Dalam arti, membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum,
2.      Mengetahui pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Nabi SAW yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum,
3.      Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukan oleh Ijma’,
4.      Menguasai bahasa Arab secara mendalam, sebab Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber asal hukum Islam tersusun dalam gaya bahasa Arab yang sanngat tinggi. Di dalam ketinggian gaya bahasa inilah, antara lain terletak segi kemukjizatanya Al-Quran,
5.      Mengetahui mendalam tentang nasikh-mansukh dalam Al-Quran dan hadits agar dalam menggali hukum tidak menggunakan ayat Al-Quran dan hadits yang telah di nasakh (hapus),
6.      Mengetahui latar belakang turunya ayat (asbabul nuzul) dan sebab-sebab keluarnya hadits (asbab al wurud) agar dapat menggali hukum secara tepat.

4.      Metode Ijtihad
Dalam melakukan ijtihad, seorang mujtahid pasti menggunakan metode yang dianggapnya sesuai, agar hasil ijtihadnya memiliki kredibilitas tinggi. Metode yang dipakai dalam berijtihad antara lain:
1.      Qiyas
Qiyas (analogi) mempuyai makna asli yaitu mengukur atau membandingkan sesuatu. Secara istilah qiyas adalah menentukan suatu hukum berdasarkan hukum yang sudah ada karena persamaan illat (motivasi hukum). Contohnya dalam menentukan zakat fitrah.
2.      Ijma’ (konsensus)
Kata ijma’ berasal dari kata jama’ yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempuyai 2 makna yaitu menyusun dan mengatur suatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Contohnya yaitu permasalahn KB yang merupakan hasil kesepakatan ulama (MUI).
3.      Istihsan (preference)
Istihsan adalah menjelaskan keputusan pribadi, yang tidak didasarkan atas qiyas, melainkan didasarkan atas kepentingan keadilan. Contohnya ialah ketika Umar ibn Khattab yang tidak melaksanakan hukuman potong tangan kepada seseorang disaat paceklik.
4.      Maslahat Mursalat
Marshalat mursalat artinya keputusan yang didasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat mursalat menolak mafsadat atau mengambil suatu manfaat dari suatu perkara. Contohnya adalah dalam ketentuan khamr dan judi.
5.      ‘Urf
‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh kebanyakan orang dan telah menjadi tradisi, baik ucapan maupun perbuatan. Contohnya adalah ketika tidak adanya akad jual beli dalam perdagangan karena sudah dianggap biasa dan saling mengerti (market modern).
6.      Istidlal
Istidlal adalah mencari dalil yang tidak ada pada nash Al- Quran dan Al-sunnah, juga tidak ada pada ijma’ dan tidak ada pada Qiyas.
7.      Istishab
Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasarkan keadaan yang sudah berlaku sebelumnya, sampai ditemukan dalil yang menunjukan perubahan keadaan itu atau menetapkan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu berdasarkan keadaan, sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya perubahan. Contohnya adalah kasus orang yang pada awalnya memiliki wudhu lalu ragu-ragu.


8.      Syar’u Man Qablana
Maksudnya adalah syari’ah-syari’ah yang telah diberlakukan pada masa para Nabi terdahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW. Contohnya adalah Syari’ah Nabi Musa a.s. tentang kewajiban bunuh diri bagi pelaku dosa besar.
5.      Urgensi Ijtihad
Setiap Muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam segala bidang hukum syari’ah, asal dia sudah memenuhi krieria sebagai seorang mujtahid. Para ulama’ membagi hukum ijtihad menjadi 3 bagian, yaitu:
a.       Wajib ‘Ain, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai  suatu peristiwa yang terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b.      Wajib Kifayah, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, tetapi apabila ada seseorang dari mereka memberikan fatwa hukum maka gugurlah tuntunan ijtihad atas diri mereka.
c.       Sunah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum terjadi atau tidak terjadi.
Urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsinyasendiri yang terbagi atas 3 macam, yaitu:
a.       Fungsi Ar-Ruju’ atau Al-I’adah (kembali), yaitu mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dari segala interpretasi yang dimungkinkan kurang relevan.
b.      Fungsi Al-Ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu sebagai furqan, hudan dan rahmatan lil ‘alamin.
c.       Fungsi Al-Inabah (pembenahan), yaitu membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama’ terdahulu dan kemungkinan adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan dan tempat yang dihadapi.
BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN DAN SARAN
Dari pemaparan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah SWT yang tepat. Al-Qaththan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Bukti-Bukti otentisitas Al-Qur’an terdapat dalam QS Al-Hijr ayat 9.  Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup, sumber pokok ajaran Islam. Isi Kandungan Al-Qur’an yaitu salah satunya ajaran tauhid.
Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga sesuatu itu lebih banyak dikerjakan daripada ditinggalkan. Fungsi Al-Sunnah yaitu pada intinya sejalan dengan Al-Qur’an. Kehujjahan Al-Sunnah terdapat dalam QS Al-Najm ayat 3-4.
Ijtihad bersal dari kata al-tahujud berarti penumpahan kesempatan dan tenaga. Kualifikasi Mujtahid yaitu pemahaman terhadap Al-Quran, pemahaman terhadap sunnah, serta kemampuan bahasa Arab.
Demikianlah paparan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan makalah. Semoga makalah ini bermanfaat. Sekian dan terima kasih.







DAFTAR PUSTAKA

            Ahmad Supadie, Didiek, dkk. 2012. Pengantar Studi Islam ed. Revisi.
                        Jakarta: Raja Grafindo Persada.
            Khoriyah. 2013. Memahami Metodologi Studi Islam cet. I. Yogyakarta:
                        Teras.
Muhaimin, dkk. 1994. Dimensi-Dimensi Studi Islam cet. I. Surabaya:
            Karya Abditama.
            Nata, Abuddin. 2014. Metodologi Studi Islam edisi Revisi. Jakarta:
                        Raja Grafindo Persada.