SUMBER AJARAN ISLAM
Disusun guna memenuhi
tugas:
Mata
Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen
Pengampu : Miftahul Huda, M.Ag
Oleh Kelompok 2 :
Anita Rahayu (2021115024)
Yaumul
Markhamah (2021115025)
Baiti
Iksiroh (2021115026)
Dyah
Herlina (2021115028)
Nana
Ayu Muliawati (2021115034)
Kelas :
D
Prodi : PAI
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah memberikan kekuatan dan kemampuan, sehingga makalah yang berjudul “Sumber
Ajaran Islam” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya,
keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini merupakan materi yang dipaparkan untuk
membahas tentang apa
saja sumber-sumber dalam ajaran Islam, bagaimana Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai
sumber dasar nilai dan norma dalam Islam, serta bagaimana ijtihad sember
dinamika nilai dan norma dalam Islam.
Semoga makalah ini bermanfaat. Aamiin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, Al-Qur’an ialah kitab suci yang di wahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia dan berpahala apabila
dibacakannya.
Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, umat Islam
sepakat bahwa As-sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua. Hal
ini didasarkan pada nash, yaitu Q.S An-Nur ayat 54.
Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam telah
dimulai sejak Rasulullah SAW. Beliau sering melakukan ijtihad,
memerintahkan kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dan mengakui hasil
ijtihad mereka.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Al-Qur’an sebagai
sumber dasar nilai dan norma dalam Islam?
2. Bagaimana Al-Sunah sebagai dasar
operasional dan norma dalam Islam?
3. Ijtihad sebagai sumber dinamika nilai dan
norma dalam Islam?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui Al-Qur’an sebagai sumber
dasar nilai dan norma dalam Islam.
2. Untuk mengetahui Al-Sunah sebagai dasar
operasional dan norma dalam Islam.
3. Untuk mengetahui Ijtihad sebagai sumber
dinamika nilai dan norma dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DASAR NILAI DAN NORMA DALAM ISLAM
1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan
suatu nama pilihan Allah SWT yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaanpun
sejak manusia mengenal baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an al-Karim,
yang mana bacaan itu sempurna dan mulia.
Di kalangan para ulama’ dijumpai adanya perbedaan pendapat di
sekitar pengertian Al-Qur’an baik dari bahasa maupum istilah. Asy-Syafi’i
misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari akar kata mana pun dan
bukan pula ditulis dengan memakai hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan
dalam pengertian kalamullah (firman Allah SWT) yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Sementara itu Al-Farra berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an
berasal dari kata qarrain jamak dari kata qarinah yang berarti
kaitan, karena dilihat dari segi makna dan kandungan ayat-ayatnya saling
berkaitan satu sama lain. Selanjutnya Al-Asy’ari dan para pengikutnya
mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an diambil dari akar kata qaru yang
berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain, karena surat-surat dan
ayat-ayatnya saling bergabung dan berkaitan.
Menurut Al-Qaththan yang mengutip pendapat para ulama’ pada umumnya
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian demikian
senada dengan yang diberikan Al-Zarqani. Menurutnya Al-Qur’an adalah lafal yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai
dengan akhir surat Al-Nas. Pengertian Al-Qur’an secara lebih lengkap
dikemukakan oleh Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf, Al-Qur’an adalah firman Allah SWT
yang diturunkan kepada hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah melalui malaikat
Jibril dengan menggunakan lafal bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia
menjadi hujjah bagi rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah yang menjadi
undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada merekadan menjadi sarana
untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah SWT dengan membacanya, yang
terhimpun dalam mushaf,yang dissampaikan kepada kita secara mutawatir dari
generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari
perubahan dan pergantian.
Berkenaan dengan definisi tersebut, maka berkembanglah studi
tentang Al-Qur’an baik dari segi kandungan ajarannya yang menghasilkan
kitab-kitab tafsir sebagaimana kita jumpai sekarang ini. Mulai dari metode tahlili
(analisis ayat per ayat) sampai dengan metode maudu’i atau tematik.
Selanjutnya para ulama’ meneliti kemukjizatan dan keistimewaan
Al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Mulai dari segi keluasan kandungannya yang
tidak akan ada habisnya, segi susunan kalimatnya yang mengandung unsur balaghah
dan sastra yang tinggi serta tidak dapat ditandingi oleh karya-karya manusia. kemukjizatan
Al-Qur’an dari segi jumlah kata-katanya yang mengandung keseimbangan dalam
jumlahnya, baik dalam jumlah kata yang saling bersinonim maupun jumlah kata
yang saling beranonim.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an diyakini berasal
dari Allah SWT dan mutlak benar. Keberadaaan Al-Qur’an sangat dibutuhkan
manusia. di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib
menurunkan Al-Qur’an bagi manusia, karena dengan segala daya yang dimilikinya
tidak dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Sehingga Al-Qur’an berfungsi
sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat akal pikiran dan sebagai
informasi terhadap hal-hal yang tidak diketahui oleh akal, sebagai petunjuk hidup
mengenai sesuatu yang juga menghendaki perincian dan penjabaran oleh ayat lain
atau hadits.
2.
Bukti-Bukti Otentisitas Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab yang otentisitasnya dijamin oleh Allah
SWT dan senantiasa dipelihara sampai akhir zaman. Allah SWT berfirman dalam QS
Al-Hijr ayat 9:
اِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَاالذِّكْرَوَاِنَّالَه
لَحَافِظُوْنَ.
Artinya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan
Kami-lah Pemelihara-pemeliharanya” (QS Al-Hijr:9)
Jaminan otentisitasnya tersebut diberikan atas dasar Kemahakuasaan
dan KemahatahuanNya, serta berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh makhlukNya,
terutama manusia. Dalam ayat tersebut digunakan kata “Inna”
(Sesungguhnya) dan kata “Nahnu” (Kami). Ketika ayat Al-Qur’an
menggunakan kata tersebut, sebagai kata ganti “Allah”, maka mempunyai kesan
perlu adanya keterlibatan pihak lain (yaitu usaha-usaha makhlukNya, terutama
manusia) untuk ikut memeliharanya. Misalnya, dengan usaha meneliti secara
objektif dengan menunjukkan bukti kebenarannya serta kehebatan isi dan
kandungannya.[3]
3.
Fungsi Al-Qur’an:
1.
Al-Qur’an
sebagai kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,
2.
Al-Qur’an
sebagai petunjuk dan pedoman hidup,
3.
Sumber
pokok ajaran Islam,
4.
Al-Qur’an
juga membuktikan kebenaran dan menjawab tantangan dari hujah-hujah tandingan,
5.
Al-Qur’an
sebagai hakim sekaligus sebagai korektor terhadap perselisihan, ide, dan kepercayaan,
6.
Al-Qur’an
sebagai penguat kebenaran kitab-kitab suci terdahulu yang telah mengalami
perubahan.
4.
Isi Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam berisi pokok-pokok ajaran yang
berguna sebagai tuntunan manusia dalam menjalani kehidupan. Di antara isi
kandungan Al-Qur’an yaitu:
1.
Ajaran
Tauhid,
2.
Janji
dan ancaman,
3.
Ibadah,
4.
Jalan
menuju kebahagiaan hidup,
5.
Berita-berita
dan cerita-cerita umat terdahulu.
Quraish Shihab mengklasifikasikan ajaran Al-Qur’an
menjadi tiga yaitu akidah (ajaran tentang keimanan akan ke-Esaan Tuhan
dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan), syari’ah (ajaran tentang
hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya), dan akhlak (ajaran tentang
norma-norma keagamaan dan susila yang haus diikuti oleh manusia dalam
kehidupannya secara individual atau kolektif).
B.
AL-SUNNAH SEBAGAI DASAR OPERASIONAL NILAI DAN NORMA DALAM ISLAM
1.
Pengertian Al-Sunnah
Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan
pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan pada pendapat
kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan
tentang wajib mengikuti hadits, baik pada masa Rasulullah SAW masih hidup
maupun setelah beliau wafat.
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan
terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian
Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna hadits Nabi SAW yang artinya: “Barangsiapa
yang membuat sunnah (kebiasaan yang terpuji, maka pahala bagi membuat sunnah
itu dan pahala bagi orang yang mengerjakannya. Dan barangsiapa yang membuat
sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuatnya dan dosa bagi orang yang
mengerjakannya)”
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa Al-Sunnah diartikan sebagai
sesuatu yang dibiasakan oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga sesuatu itu lebih
banyak dikerjakan daripada ditinggalkan.
Ulama’ Ushul mengartikan Al-Sunnah adalah sesuatu yang
berasal dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan
beliau yang berkaitan dengan hukum. Sementara ulama’ Fiqh mengartikan
Al-Sunnah sebagai salah satu dari bentuk hukum syara’ yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak disiksa.
2.
Fungsi Al-Sunnah
Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan
Al-Qur’an. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian
ayat Al-Qur’an:
1.
Bersifat
global, yang secara garis besar memerlukan perincian,
2.
Bersifat
umum, secara menyeluruh yang masih menghendaki pengecualian,
3.
Bersifat
mutlak, yang masih sangat memerlukan pembatasan,
4.
Bersifat
musytarak, yakni isyarat Al-Qur’an yang mengandung makna lebih dari satu
sehingga memerlukan penetapan makna.
Terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di
dalam Al-Qur’an yang selanjutnya diserahkan kepada hadits Nabi SAW. Sehingga
hadits berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat Al-Qur’an yang bersifat global.
Maka pemahaman Al-Qur’an dan juga pemahaman ajaran Islam yang seutuhnya tidak
dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan hadits.
3.
Kehujjahan Al-Sunnah
Nabi SAW adalah seorang rasul yang maksum (terjaga dari segala
perbuatan hina, dosa dan maksiat), sehingga sunnah-sunnah beliau selalu
dipelihara oleh Allah SWT dari segala apa yang menurunkan citranya sebagai
seorang rasul. Di dalam QS Al-Najm ayat 3-4: وَمَايَنْتِقُ عَنِ الْهَوى اِنْ هُوَاِلاَّوَحْيٌ يُوْحى
Artinya: “Dan Nabi tidak berbicara menurut kemauan hawa
nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan” (QS
Al-Najm: 3-4)
Sebagian ulama’ mendudukkan Nabi Muhammad SAW ke dalam dua posisi,
yaitu pertama, posisinya sebagai manusia biasa atau al-basyar, sehingga
beliau diperbolehkan melakukan ijtihad. Kedua, posisinya sebagai Rosulullah
SAW, sehingga apapun yang diucapkan, diperbuat, dan yang ditetapkan merupakan
bagian integral dari wahyu Allah SWT.
C. IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DINAMIKA NILAI
DAN NORMA DALAM ISLAM
1.
Pengertian Ijtihad
Dalam ajaran Islam, ijtihad merupakan tema yang cukup sentral terutama dalam kajian ilmu fiqih
dan ilmu ushul fikih. Secara bahasa, ijtihad bersal dari kata al-tahujud
berarti penumpahan kesempatan dan tenaga, Makna lain adalah dari kata dasar jahada
yaitu mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Secara istilah,
ijtihad mempuyai makna mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i
yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak
mampu melebihi usahanya. Ijtihad
memiliki legitimasi yang valid sebagai sumber hukum Islam ke-3 setelah Al-Quran dan Hadits. Ijtihad dibagi tiga objek
yaitu:
1. Ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash,
2. Ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan disepakati,
3. Ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu.
2. Kualifikasi Mujtahid
Persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid secara langsung berkaitan dengan kualitas hasil ijtihad. Para ulama
pada umumnya menyebut syarat-syarat keahlian bagi mujtahid adalah:
1. Pemahaman terhadap Al-Quran,
2. Pemahaman terhadap sunnah,
3. Kemampuan bahasa Arab.
3. Syarat-syarat Seorang Mujtahid
1. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum. Dalam arti, membahas ayat-ayat
tersebut untuk menggali hukum,
2. Mengetahui pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Nabi SAW yang berhubungan dengan masalah
hukum, dalam arti sanggup membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum,
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukan oleh Ijma’,
4. Menguasai bahasa Arab secara mendalam, sebab Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber asal hukum Islam tersusun dalam gaya bahasa Arab yang sanngat tinggi. Di dalam ketinggian gaya bahasa inilah, antara
lain terletak segi kemukjizatanya Al-Qur’an,
5. Mengetahui mendalam tentang nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an dan hadits agar dalam menggali hukum tidak menggunakan
ayat Al-Qur’an dan hadits yang telah di nasakh (hapus),
6. Mengetahui latar belakang turunya ayat (asbabul nuzul) dan
sebab-sebab keluarnya hadits (asbab al wurud) agar dapat menggali hukum
secara tepat.
4. Metode Ijtihad
Dalam melakukan ijtihad, seorang mujtahid
pasti menggunakan metode yang dianggapnya sesuai, agar hasil ijtihadnya
memiliki kredibilitas tinggi. Metode yang dipakai dalam berijtihad antara lain:
1. Qiyas
Qiyas (analogi) mempuyai makna asli yaitu
mengukur atau membandingkan sesuatu. Secara istilah qiyas adalah menentukan
suatu hukum berdasarkan hukum yang sudah ada karena persamaan illat
(motivasi hukum). Contohnya dalam menentukan zakat fitrah.
2. Ijma’ (konsensus)
Kata ijma’ berasal dari kata jama’ yang
berarti menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempuyai 2 makna yaitu menyusun dan
mengatur suatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan
dan memutuskan suatu perkara dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam
pendapat. Contohnya yaitu permasalahn KB yang merupakan hasil kesepakatan ulama (MUI).
3. Istihsan (preference)
Istihsan adalah menjelaskan keputusan pribadi,
yang tidak didasarkan atas qiyas, melainkan didasarkan atas kepentingan
keadilan. Contohnya ialah ketika Umar ibn Khattab yang tidak melaksanakan
hukuman potong tangan kepada seseorang disaat paceklik.
4. Maslahat Mursalat
Marshalat mursalat artinya keputusan yang didasarkan
guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat mursalat menolak mafsadat
atau mengambil suatu manfaat dari suatu perkara. Contohnya adalah dalam
ketentuan khamr dan judi.
5. ‘Urf
‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh
kebanyakan orang dan telah menjadi tradisi, baik ucapan maupun perbuatan.
Contohnya adalah ketika tidak adanya akad jual beli dalam perdagangan karena
sudah dianggap biasa dan saling mengerti (market modern).
6. Istidlal
Istidlal adalah mencari dalil yang tidak ada
pada nash Al- Quran dan Al-sunnah, juga tidak ada pada ijma’ dan tidak ada pada
Qiyas.
7. Istishab
Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasarkan
keadaan yang sudah berlaku sebelumnya, sampai ditemukan dalil yang menunjukan
perubahan keadaan itu atau menetapkan hukum yang telah ditetapkan pada masa
lalu berdasarkan keadaan, sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya
perubahan. Contohnya adalah kasus orang yang pada awalnya memiliki wudhu lalu
ragu-ragu.
8. Syar’u Man Qablana
Maksudnya adalah syari’ah-syari’ah yang telah
diberlakukan pada masa para Nabi terdahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW.
Contohnya adalah Syari’ah Nabi Musa
a.s. tentang
kewajiban bunuh diri bagi pelaku dosa besar.
Setiap Muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam
segala bidang hukum syari’ah, asal dia sudah memenuhi krieria sebagai seorang
mujtahid. Para ulama’ membagi hukum ijtihad menjadi 3 bagian, yaitu:
a.
Wajib
‘Ain, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, dan ia khawatir
peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya. Atau ia sendiri mengalami
suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b.
Wajib
Kifayah, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa
yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, tetapi apabila ada seseorang
dari mereka memberikan fatwa hukum maka gugurlah tuntunan ijtihad atas diri
mereka.
c.
Sunah,
yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum terjadi
atau tidak terjadi.
Urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsinyasendiri yang
terbagi atas 3 macam, yaitu:
a.
Fungsi
Ar-Ruju’ atau Al-I’adah (kembali), yaitu mengembalikan
ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dari segala
interpretasi yang dimungkinkan kurang relevan.
b.
Fungsi
Al-Ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari
nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan
zaman, sehingga Islam mampu sebagai furqan, hudan dan rahmatan lil
‘alamin.
c.
Fungsi
Al-Inabah (pembenahan), yaitu membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah
diijtihadi oleh ulama’ terdahulu dan kemungkinan adanya kesalahan menurut
konteks zaman, keadaan dan tempat yang dihadapi.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari pemaparan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an
berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah SWT yang tepat. Al-Qaththan
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Bukti-Bukti otentisitas
Al-Qur’an terdapat dalam QS Al-Hijr ayat 9.
Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup, sumber pokok ajaran
Islam. Isi Kandungan Al-Qur’an yaitu salah satunya ajaran tauhid.
Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh Nabi
Muhammad SAW, sehingga sesuatu itu lebih banyak dikerjakan daripada
ditinggalkan. Fungsi Al-Sunnah yaitu pada intinya sejalan dengan Al-Qur’an.
Kehujjahan Al-Sunnah terdapat dalam QS Al-Najm ayat 3-4.
Ijtihad bersal dari kata al-tahujud berarti penumpahan kesempatan dan
tenaga. Kualifikasi Mujtahid yaitu pemahaman terhadap Al-Quran, pemahaman terhadap sunnah, serta kemampuan bahasa Arab.
Demikianlah
paparan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami mohon saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan makalah. Semoga
makalah ini bermanfaat. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Supadie, Didiek, dkk. 2012. Pengantar Studi Islam ed. Revisi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Khoriyah. 2013. Memahami
Metodologi Studi Islam cet. I. Yogyakarta:
Teras.
Muhaimin, dkk. 1994. Dimensi-Dimensi Studi Islam cet. I.
Surabaya:
Karya Abditama.
Nata, Abuddin. 2014. Metodologi
Studi Islam edisi Revisi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar