FILSAFAT KETUHANAN
DALAM ISLAM
Disusun guna memenuhi
tugas:
Mata
Kuliah : Filsafat Islam
Dosen
Pengampu : Miftahul Huda, M.Ag
Oleh Kelompok 2 :
Nanis
Failah (2021115020)
Yaumul
Markhamah (2021115025)
Baiti
Iksiroh (2021115026)
Umi
Sarwindah (2021115027)
Dyah
Herlina (2021115028)
Kelas :
B
Prodi : PAI
JURUSAN
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
(IAIN) PEKALONGAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan kekuatan dan kemampuan, sehingga makalah yang berjudul “Filsafat
Ketuhanan dalam Islam” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan
salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya,
keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Miftahul Huda, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Islam yang telah
memberikan tugas ini serta membantu memberikan motivasi dan masukan dalam
penyusunan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, mungkin masih banyak
kekurangannya. Oleh sebab itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran demi
kesempurnaan. Semoga makalah ini bermanfaat. Aamiin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak dahulu hingga sekarang ini, pertanyaan tentang Tuhan adalah
pertanyaan abadi dan tidak pernah selesai bahkan mungkin tidak akan pernah
selesai. Akan tetapi pertanyaan itu tetap penting dan aktual.
Sebagai manusia dewasa dengan berakal budi, sudah tentu bahwa
realitas keberadaannya menjadi bagian dari pemikiran dan perenungan, apalagi
saat menghadapi kesulitan hidup, ditimpa bencana, dan penderitaan yang tak
kuasa untuk diatasi, dipecahkan dan diselesaikannya sendiri, maka manusia
menyadarkannya pada Tuhan sebagai Kekuasaan Maha Agung yang mengatur dan
menentukan segala-galanya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
makna bertuhan?
2.
Apa
saja aspek dalam pembahasan Tuhan?
3.
Bagaimana
pandangan para filosof muslim tentang Tuhan?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui makna bertuhan.
2.
Untuk
mengetahui aspek-aspek pembahasan Tuhan.
3.
Untuk
mengetahui pandangan para filosof muslim tentang Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna
Bertuhan
Apakah konsepsi tentang Tuhan itu mungkin? Karena pemikiran
konseptual terdiri atas definisi-definisi,atau batasan-batasan yang jelas atas
berbagai faktor, yang kemudian dirangkai dalam suatu pengertian yang
sistematik, bulat, utuh, koheren dan konsisten.
Secara keilmuan, Tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi objek
kajian ilmu, karena kajian ilmu selalu parsial, terukur, terbatas dan dapat
diuji secara berulang-ulang pada percobaan keilmuan.
Oleh karena itu, dalam filsafat hakikat Tuhan telah menjadi perenungan
yang sangat intens, sejak Yunani Kuno bahkan hingga sampai saat ini. Dalam
pemikiran Yunani Kuno, ditegaskan bahwa yang pertama menjadi sebab adanya semua
ini yakni to apeiron.
Al-Qur’an menggambarkan pencarian Tuhan dengan menunjuk salah satu
faktor alam yang dianggap layak sebagai Tuhan, digambarkan dalam logika Nabi
Ibrahim as. mencari Tuhan-Nya, dalam QS Al-An’am ayat 76-79.
Pada perkembangan selanjutnya, manusia telah mencapai peradaban
yang lebih tinggi. Dari perkembangan berhala atau patung yang dibuatnya sendiri
dan dipertuhankan sendiri juga. Dalam mempertuhankan dugaan dan perkiraan
tentang Tuhan dapat menjatuhkan derajat dan martabat manusia sendiri. oleh
karena itu, perbuatan mempersekutukan Tuhan dengan tuhan-tuhan yang lain tidak
bisa diampuni, Allah berfirman dalam QS An-Nisa ayat 116 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni yang
mempersekutukan-Nya denfgan sesame dan mengampuni perbuatan yang selaiinya
terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang mempersekutukan Allah maka
sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh”.
Persepsi tentang Tuhan diperoleh melalui praktik menjalankan tata
cara peribadatan kepada-Nya, yang diatur secara detail oleh agama yang
dianutnya. Persepsi tentang Tuhan yang dibentuk agama ini, akan sangat
tergantung bagaimana ajaran tentang Tuhan itu dikemas oleh suatu agama, jika
Tuhan yang diajarkan sebagai Yang Maha Kuasa maka dengan sendirinya manusia
menempatkan dirinya yang berlawanan yaitu yang maha lemah.
Dalam konsep
filsafat Islam, Allah menghendaki adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat,
karena jika Allah menghendaki hanya satu umat saja tentu sangat mudah bagi
Allah untuk mewujudkannya.
Setelah mengatahui sedikit konsepsi
dari persepsi tentang Tuhan, sering kali muncul dalam benak persoalan mengapa
manusia membutuhkan Tuhan dalam kehidupanya? Apa makna keber-tuhanan manusia
itu? Berdasarkan kronologi sejarah, sesungguhnya lahirnya kesadaran manusia
akan adanya Tuhan, kekuatan diluar diri manusia yang bersiat mengatasi kehidupan
secara umum, bermula dari kesadaran manusia sendiri akan keterbatasan dan
kelemahan diri manusia.
Dalam kenyataanya, manusia mendapati
dirinya adalah sesuatu yang sangat kecil dibanding dengan makhluk yang lain,
dan juga mendapati dirinya tidak banyak berbuat banyak dan mengatasi
masalah-masalah kehidupan di alam semesta ini. Hal ini sangat terasa misalnya
ketika seseorang dalam keadaan tertimpa musibah, bencana alam besar tsunami,
gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, sakit kronis, dan kritis.
Dalam proses kehidupan, bertuhan
memiliki setidaknya tiga aspek eksistensial, yang hal ini sangat mempengaruhi
pada keberagaman, yaitu
1.
Memiliki
Tuhan
Yaitu kesadaran
akan kehadiran dan kepemilikan Tuhan yang diyakininya dalam kehidupan.
Kebutuhan akan memiliki Tuhan ini merupakan cara manusia untuk dapat mengatasi
berbagai keterbatasan dan kelemahannya. Jika seseorang merasa memiliki Tuhan
dalam kehidupanya, maka ia tidak akan khawatir, sedih dan mengalami kesulitan
dalam menjalani kehidupannya, karena apapun problematika yang didapatinya, ia
akan dibantu Tuhan dalam menyelesaikannya.
Dengan kesadaran
akan kepemilikan ini, maka akan tumbuh dalam diri seseorang rasa optimis,
berani menghadapi segala tantangan dan rintangan, rasa aman terlindungi,
tenang, rasa damai sejahtera dan berkecukupan segala kebutuhan dan rasa bahagia
sepanjang hidupnya.
2.
Hidup
bersama Tuhan
Cara ini bisa
dipahami sebagi tindak lanjut dari kesadaran akan kepemilikan sebagaimana
diatas. Artinya setelah seseorang merasa memiliki, maka dalam kehidupanya ia
menyadari akan kebersamaanya hidup dengan Tuhannya. Kemanapun dan dimanapun,
dalam keadaan apapun dan persoalan apapun yang dialaminya, Tuhan menyertainya.
Namun cara dan
modus ini juga bisa berarti manusia tidak merasa memiliki namun ia merasakan
bahwa Tuhan yang diyakininya selalu menyertainya, terutama ketika seseorang
dalam mengahadapi kesulitan, rintangan, dan tantangan hidup.
Kesadaran ini
memiliki dampak yang cukup signifikan dalam menumbuhkan sikap positif dan
dampak psikologis yang sangat mendalam bagi kehidupan seseorang.
3.
Mengabdi
kepada Tuhan (mode of serving)
Untuk dapat
memiliki dan agar Tuhan selalu hadir menyertai dalam setiap langkah menyelasaikan
masalah hidup dan kehidupannya, maka seseorang harus melakukan amaliah yang
disukai dan dikehendaki Tuhan, yaitu melakukan penyembahan kepadanya. Artinya,
seseorang hars menjadi hamba (server) yang tunduk dan patuh atas
perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Dengan ketaatan dan penyertaan Tuhan
dalam kehidupan bersifat langgeng dan abadi.
Pengabdian berarti
manusia memiliki tujuan yang jelas dalam setiap aktivitasnya, dan berharap
lebih dari apa yang sudah dijalankan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih
bermakna dan berharga dari apa yang sudah dan sedang dijalaninya. Demikian juga
ketika manusia memperoleh keberhasilan atas usaha dan kerjanya ia membutuhkan
saluran yang positif sebagai pelampiasan rasa bahagia atas kesuksesan. Inilah
yang kemudian dikenal sebagai rasa syukur yang memiliki dimensi vertikal
sekaligus juga horizontal.
B. Aspek
pembahasan Tuhan
Dalam membahas ketuhanan, setidanya ada
5 hal yang harus dicakup. Kelima cakupan tersbut adalah :
1.
Wujud
Keberadaan
atau eksisteni Tuhan adalah masalah paling awal dan mendasar. Percaya akan ada
atau tiadanya Tuhan, pada akhirnya sangat mempengaruhi cara dan pola kehidupan
yang dijalani manusia. Untuk itu, manusia dari abad ke abad dan dari generasi
ke generasi berusaha keras mencari jawaban yang argumentatif dan meyakinkan
akan keberadaan Tuhan. Kuat tidaknya argumn, tergantung pada bukti-bukti yang
dikemukakan. Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Argumen
Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan oleh ayat-ayat al-Qur’an atau wahyu ilahi
atau segala informasi yang diyakini berasal dari Tuhan.
Dalam
al-Qur’an, persoalan ketuhanan merupakan masalah fundamental, sehingga banyak
sekali ayat-ayat yang berkaitan dengan argumen keberadaan, dzat, sifat, nama,
dan af’al Tuhan. Beberapa bukti akan eksistensi Tuhan dalam al-Qur’an adalah :
Qs: Al-Ankabut (29):61,63, Yunus (10):18, al- Fathir (35):15-17
“dan
sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “siapakah yang menjadikan langit
dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab:
“Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).
b.
Argumen
Aqli, yaitu argumen yang dikemukaan lebih merupakan produk pemikiran rasio akal
manusia sepanjang yang bisa dipikirkan dan yang mungkin terpikirkan (thinkabel)
diantara argumen-argumen rasional-filosofis yang dikemukakan para filosof
muslim, ada yang murni penemuan akal rasionalnya, namun sebagian besar adalah
argumen akal yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an. Beberapa dalil akal tersbut
antara lain adalah:
1)
Dalil
gerak
Seperti
yang diungkapkan Aristoteles yaitu “setiap yang bergerak pasti ada yang
menggerakkan” ada suatu ujung yang tidak digerakkan dan ujung itu merupakan
suatu sumber segala macam gerakan dan tuuan akhir dari semua gerakan yang
disebut sebagai penggerak yang tidak digerakkan (The Unmoved Mover). Ini
adalah rasio murni dan diambil oleh para filosof Islam sebagai pegangan.
2)
Sebab
Akibat
Setiap
sesuatu tidak lepas dari hukum sebab akibat atau hukum kausalitas. Dalam mata
rantai sebab akibat tersebut harus ada ujung daripada sebab, yang menjadi sebab
pertama dan sekaligus sebagai sumber sebab akibat dan tujuan dari sebab akibat
itu. Inilah kemudian dinamakan sebagai causa prima.
3)
Dalil
Wujud
Dalil
kejadian bahwa setiap yang ada pasti ada yang mengadakan. Tidak mungkin
keberadaan alam ini tidak ada yang mengadakan. Secara rasio akan meniscayakan
adanya wujud yang pertama yang menjadi asal dan saling fundamental sejati (haqaiq
al-maujudat).
c.
Dalil
Empiris
Bukti-bukti
wujudnya Tuhan secara empiris maksudnya adalah bukti yang didapat dari hasil
pengamatan indrawi secara langsung terhadap fenomena alam sekitar manusia,
termasuk manusia itu sendiri. Dalam al-Qur’an bukti ini dikatakan sebagai bukti
hasil perenungan terhadap ayat-ayat kauniyyah.
d.
Dalil
psikofisik
Yaitu
argumentasi yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia miteri jiwa atau
ruh dapat mengantarkan kepada keberadaan Tuhan, melalui penempatan spiritual,
maupun melalui daya-daya imajinatif kreatifnya untuk menggapai realitas ilahiyah,
atau juga melalui fenmena mimpi, sebagaimana dialaminya para Nabi dalam
menerima wahyunya.
e.
Dalil
Moral
Yaitu
argumen tentang nilai baik dan buruk yang ada dalam realitas kehidupan nyata
ini.
2.
Dzat
Tuhan
“berpikirlah
tentang makhluk Allah saja dan jangan berpikir tentang Dzat Allah karena
sesungguhnya kalian tidak mampu melakukanya” (HR. Thobrori).
Dengan
demikian larangan berpikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat mutlak, namun
melihat keadaan pemikiran seseorang. Adapun pemikiran filsafat tentang dzat
Tuhan adalah sebagai berikut:
a.
Ada
yang menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah akal yang sifatnya murni metafisik.
b.
Ada
yang menyatakan dzat Tuhan adalah cahaya, hal ini didasarkan pada Qs. An-Nur :
35.
3.
Sifat
Membahas sifat Tuhan tidak bisa dilepaskan
dari dzat, wujudnya dan juga namanya. Sebab sifat adalah sesuatu yang melekat
pada suatu realitas, yang apabila ssuatu itu lepas maka realitas tersebut telah
kehilangan sebutanya. Dengan demikian pemahaman akan dzat dan maujud tuhan
secara langgsung juga akan terkait dengan sifat Tuhan.
Dalam hal ini pensifatan Tuhan, ada dua
aliran pemikiran yang perlu dikenal, yaitu aliran antrophomorfisme dan teophomorfisme.
Yang pertama disebut tasybih, yaitu menyerupakan sifat Tuhan dengan
sifat-sifat kemanusiaan yang dapat dikenali secara mudah oleh manusia.
sementara yang kedua, teophomorfisme atau tanzih, yaitu ketidakserupaaan sama sekali sifat Tuhan
dengan sifat manapun makhuknya, dan hanya Tuhan sendiri yang tahu hakekat
sifatnya. Tasybih juga merupakan sikap emanasi Tuhan, dan Tanzih
sifat mentradensikan Tuhan.
4.
Nama-nama
Tuhan
Nama adalah sebutan yang bersifat simbol,
pertanda dinisbahkan kepada suatau realitis. Nama-nama Tuhan adalah simbol yang
digunakan untuk menunjukan kepada relitas Tuhan, yang mencakup wujud, dzat, dan
sifat-Nya. Oleh karena itu, nama-nama Tuhan adalah kesatuan dari realitas Tuhan
secara keseluruhan.
5.
Af’
al, Perbuatan Tuhan
Yaitu apa saja yang telah, sedang dan akan
dilakukan Tuhan dalam kehidupan semesta ini. Perbuatan Tuhan, juga tidak lepas,
melalui konsepsi.
C. Pandangan Para Filosof
Muslim Tentang Tuhan
1)
Al-Kindi
Al-kindi, Alkindus, nama
lengkapnya abu Yusuf ya’kub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail
Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi, lahir di Kufah, iraq sekarang, tahun 801 M, pada
masa khalifahan Harun Al-Rasyid (786-809 M) dari dinasti bani Abbas (750-1258
M) nama Al-kindi sendiri dinisbatkan kepada marga atau suku leluhurnya, salah
satu suku besar zaman pra-Islam.
Pendidikan Al-Kindi dimulai di
Kufah. Saat itu ia mempelajari Al-Qor’an, tata bahasa Arab, kesaatraan, ilmu
hitung, fiqih dan teologi.
Menurut Al-Kindi, filsafat hendaknya
diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Berdasarkan para sejarawan Arab awal
menyebutkan ”Filosof Arab”, memang gagasan-gagasanya itu berasal dari Aristotelialisme
Neo Platonis, namun juga benar bahwa ia meletakan gagasan itu dalam konteks
baru.
Batasan filsafat adalah risalah
Al-Kindi tentang filsafat awal, berbunyi demikian: “Filsafat adalah pengetahuan
tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia. Karena
tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam
berpratek ia menyesuaikan dengan kebenaran pada akhir risalahnya. Ia mensifati
Allah dengan istilah “kebenaran” yang merupakan tujuan filsafat. Sejalan dengan
Aristoteles, Al-Kindi menyebut Allah dengan kebenaran (Al-Haqq) yang
menjadi tujuan pemikiran filsafati manusia. Maka satu yang benar (Al-Wahid
al-Haqq) adalah yang pertama, sang pencipta, sang pemberi rizki atas semua
ciptaaNya dan sebagainya. Gagasan Islam tentang tuhan keesaaNya, penciptaan
olehNya dari keadaan dan ketergantungan semua ciptaan kepadanya. Al-Kindi
menyifati Tuhan dengan sifat baru “Tuhan adalah yang benar ia tinggi dan dapat
disifati hanya dengan sebutan-sebutan negatif”. Ia bukan materi tak berbentuk,
tak berjumlah, tak berkualitas, tak berhubungan, juga ia tak disifati dengan
ciri-ciri yang ada (Al Ma’qilat). “Ia tidak berjenis, tak tebagi dan tak
berkejadian” Ia abadi.
2)
Al-Farabi
Menurut Al-Farabi dalam teori
sepuluh kecerdasanya, yang merupakan teori terpenting dalam filsafat muslim: Ia
menerangkan dua dunia langit dan bumi, menafsirkan gejala gerakann dua
perubahan.
Menurut Al- Farabi, Tuhan dapat diketahui
dan tidak dapat diketahui. Tuhan itu dhohir sekaligus batin. Pengetahua terbaik
tentang Tuhan adalah memahami dia adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau
oleh pikiran. Manusia tidak dapat mengetahui tentang Tuhan sebab kapasitas
intelektual yang dimilikinya, sebagai sarana untuk mengetahinya terbatas.
Sedangkan Tuhan adalah substanti yang tidak terbatas, maka mustahil yang
terbatas dapat mencapai sempurna dan
tidak terbatas. Maka Al-Farabi membuktikan eksistensi Tuhan dengan beberapa
argumen, yaitu:
I.
Teori
Gerak, semua yang terdapat pada alam semesta selalu bergerak, yang akan
berujung pada satu hal yang mesti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak
yang justru sebagai penggeraknya
II.
Penyebab
Efisien (efficiency cousation), dimana adanya sebab-sebab yang beruntun
yang berujung sebab dari segala sebab.
III.
Argumen
Mumkinul Wujud, semua yang terdapat di dunia merupakan realitas yang mengandung
kebolehjadian. Sedangkan wajibul wujud adalah sesuatu yang realitasnya menjadi
keharusan dan menjadi sandaran bagi segala yang ada.
Contoh wujud ketuhanan Al-Farabi
yaitu wujud cahaya tidak akan ada tanpa adanya wujud matahari. Sedangkan cahaya
menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa pula tidak atau disebutdengan mumkin
al-wujud.
3)
Ibnu
Sina
Lahir pada pertengahan, Ibnu Sina
mengatakan bahwa Tuhan identik dengan keberadaanNya yang mesti. Tuhan unik
dalam arti bahwa Dia adalah kemaujudan yang mesti, segala sesuatu selain Dia
bergantung kepada diriNya sendiri dan keberadaanNya bergantung pada Tuhan,
kemaujudan yang mesti itu jumlahnya harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam
kemaujudan ini tidak boleh terdapat kelipatan sifat-sifatnya tetapi Tuhan
memiliki esensi lain, tak ada atribut kecuali bahwa Dia itu ada dan mesti ada.
Akan tetapi, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan tentang segala sesuatu di
luar dirinya pula, karena dengan mengetahui diriNya. Dia pun tak pelak lagi
mengetahui kemaujudan lainnya yang berasal dariNya. Kehendak Tuhan berarti
hanyalah prosesi yang mesti atas dunia dari dirinya dan kepuasan diriNya melalui
pendefinisianya dengan istilah-istilah benar-benar negatif, yaitu bahwa Tuhan
tidak berkehendak sehingga dunia beprosesi dariNya. Ajaran Ibnu Sina ini
menghendaki bahwa adanya Tuhan itu dibedakan secara mendasar dari adanya dunia.
4)
Ibnu
Rusyd
Nama lengkapnya Abu Al-Walid
Muhammad Ibn Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H atau 1126 M. Ibnu Rusyd
hidup dalam kondisi politik yang sedang berkecamuk. Dia lahir pada masa
pemerintahan Al-Murafiah yang gulingkan oleh golongan di Marrakusy pada tahun
542 H atau 1147 M yang menaklukan Cordova pada tahun 543 H atau 1148 M. Menurut
Ibnu Rusyd pembuktian adanya Tuhan bertumpu pada dua prinsip:
I.
Semua kemajuan sesuai dengan kamajuan manusia
(dalil inayah) bahwa kesesuaian ini dikarenakan tidak terjadi dengan sendirinya.
II.
Segala sesuatu diciptakan untuk kepentingan
manusia, bintang- gemintang bersinar di malam hari agar bisa menjadi penuntun
bagi manusia (dalil ikhtira).
Kemudian
Ibnu Rusyd membagi sikap yang menyangkut hubungan antara zat Tuhan dengan
sifat-sifatNya dengan tiga sikap.
1.
Sangkalan
terhadap adanya sifat-sifat itu (sifat serba tahu, sifat hidup, sifat kuasa,
sifat berkehendak, sifat mendengar, sifat melihat dan sifat berfirman).
2.
Penegasan
tentang kesempurnaan sifat-sifat tersebut.
3.
Anggapan
bahwa sifat-sifat tinggi dan berada di luar jangkauan penglihatan manusia. Tapi
Al-Quran menegaskan sifat-sifat itu dan menyatakan bahwa “tidak ada yang
menyamai Dia”.