PERNIKAHAN:
MEMBINA RUMAH TANGGA
Disusun guna memenuhi
tugas:
Mata
Kuliah : Fiqh III
Dosen
Pengampu : Fahrodin, M.HI
Oleh Kelompok 2 :
Farhannia
Nadhifa (2021115022)
Siti
Munawaroh (2021115023)
Yaumul
Markhamah (2021115025)
Baiti
Iksiroh (2021115026)
Dyah
Herlina (2021115028)
Kelas :
E
PAI
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
(IAIN) PEKALONGAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan kekuatan dan kemampuan, sehingga makalah yang berjudul “Pernikahan:
Membina Rumah Tangga” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan
salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya,
keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Fahrodin, M.HI selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh III yang telah memberikan
tugas ini serta membantu memberikan motivasi dan masukan dalam penyusunan
makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, mungkin masih banyak kekurangannya.
Oleh sebab itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran demi kesempurnaan.
Semoga makalah ini bermanfaat. Aamiin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhi syaratrukunnya,
maka menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan juga
hak serta kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang meliputi: hak
suami istri secara bersama, hak suami atas istri, dan hak istri atas suami.
Termasuk di dalamnya adab suami terhadap istrinya seperti yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang melaksanakan perkawinan,
ia telah melindungi setengah dari agamanya.”
Dan Rasulullah SAW mengatakan: “Barangsiapa memilih untuk mengikuti
Sunnahku, maka ia harus kawin dan melahirkan anak-anak, sehingga aku dapat
melihat ummah-ku dalam jumlah yang besar.”
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
definisi dari akad nikah?
2.
Bagaimana
definisi dari walimah al-ursy?
3.
Bagaimana hak dan kewajiban antara suami dan
istri?
4.
Bagaimana
definisi dari nafkah dan nasab?
5.
Bagaimana
definisi dari perwalian dan hadhanah?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Untuk
mengetahui definisi dari akad nikah.
2.
Untuk
mengetahui definisi dari walimah al-ursy.
3.
Untuk
mengetahui hak dan kewajiban antara suami dan istri.
4.
Untuk
mengetahui definisi dari nafkah dan nasab.
5.
Untuk
mengetahui definisi dari perwalian dan hadhanah.
6.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AKAD NIKAH
1. Pengertian Akad dan Sighat
Dalam
pernikahan, ridhanya laki laki dan perempuan serta persetujuan antara keduanya
merupakan hal yang pokok untuk mengikat hidup berkeluarga. Perasaan ridha dan
setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan jelas. Perlambang yang
diutarakan oleh kedua pihak yang melangsungkan kad. Inilah yang merupakan
sighat dalam pernikahan.
Pernyataan
pertama untuk menunjukkan kemamuan membentuk hubungan suami istri dari pihak
perempuan disebut ijab. Sedangkan pernyataan kedua yang diucapkan oleh pihak
yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setuju disebut
Qabul. Kedua pernyataan antara ijab dan qabul merupakan akad dalam pernikahan.
2. Kata-kata dalam Ijab dan Qabul
Dalam
melaksanakan ijab qabul harus dengan kata kata yang dapat dipahami oleh masing-masing
pihak yang melangsungkan akad nikah, tidak boleh menggunakan kata kata yang
samar dan tidak jelas.
Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa ijab qabul dalam akad nikah boleh digunakan dengan
bahasa, kata-kata, atau perbuatan apa saja oleh masyarakat yang sudah dianggap
menyatakan terjadinya pernikahan. Para ulama fiqih juga sependapat dengan hal
tersebut, tidak terikat satu bahasa atau dengan kata kata khusus asalkan
menunjukkan ridha dan setuju, misalnya,” saya terima, saya setuju, saya
laksanakan, dan sebagainya.
Jika
kata-kata dalam ijab qabul dapat diganti dengan kata-kata kiasan, hukumnya sah
seperti halnya menyatakan cerai dengan menggunakan kata kata kiasan. Imam syafi’I,
Said Musayyab, dan Atha’ berpendapat bahwa ijab tidak sah, kecuali dengan
menggunakan kata-kata nikah atau tazwij atau bentuk lain dari kedua kata
tersebut. Menurut mereka mengucapkan pernyataan merupakan salah satu syarat pernikahan.
Jadi, jika digunakan umpannya lafal memberi maka nikah tidak sah.
3. Syarat-syarat Akad, Sighat, dan Pelaksanaannya
Para
ulama sepakat bahwa syarat ijab qabul harus dengan lafal fi’il madhi yang menunjukkan
kata kerja telah lalu.
Contoh
ijab qabul yang menggunakan fi’il madhi
Ijab
: “saya nikahkan engkau kepada anak perempuan saya .”
Qabul
:”saya terima”
Bentuk
ucapan dalam ijab qabul yang dipergunakan oleh agama adalah fi’il madhi, karena
menyatakan secara tegas lahirnya pernyataan setuju dari kedua belah pihak dan
tidak mungkin mengandung arti yang lain.
4. Dasar Hukum Akad Nikah
Pernikahan
adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. dan akadnya
merupakan suatu perjanjian dan ikatan yang tidak boleh dianggap main-main. Oleh
karena itu, akad nikah harus didasarkan pada landasan dan pondasi yang kuat.
Ibarat suatu bangunan yang kokoh dan kuat karena pondasinya.
Secara
umum landasan akad nikah harus didasarkan pada tiga hal berikut,
a. Keyakinan
atau Keimanan
Iman merupakan sesuatu
yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Iman akan menentukan seseorang
bisa meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Al-Islam
Akad nikah merupakan
suatu aktivitas ibadah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ajaran ajaran dan norma Islam yang
bersumberkan pokok pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul (Al-Hadits), serta ijtihad,
terutama dalam bentuk ijma’ dan qiyas. Pembicaraan al-Islam tercurah pada
hukum-hukum syariat Islam, misalnya tata cara meminang, perceraian, dan
sebagainya.
c. Al-Ihsan
Akad nikah harus dilandasi suatu
prinsip taqarrub kepada Allah dan untuk Allah, sehingga akad nikah itu
dapat melahirkan menusia yang takwa, dekat kepada Allah, giat beribadah, dan
mencurahkan segenap aktivitas hidupnya untuk mencari ridha Allah.
B.
WALIMAH AL-URSY
1.
Pengertian Walimah
Walimah (ألو ليمه) artinya Al-jam’u = kumpul, sebab antara suami dan istri
kumpul, bahkan sanak saudara, kerabat, dan para tetangga. Walimah berasal dari
kata arab: ألو لم artinya makanan pengantin, maksudnya adalah makanan yang
disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai
makanan untuk tamu undangan atau
lainnya.
Walimah diadakan
ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya, atau ketika hari
perkawinan atau sesudahnya. Walimah bisa juga diadakan menurut adat dan
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
2.
Dasar Hukum Walimah
Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunah
mu’akkad. Maksudnya yaitu makanan yang dihidangkan untuk perkawinan dan setiap
terjadinya hal yang membahagiakan minimal bagi orang kaya ialah satu ekor
kambing, dan bagi orang miskin ialah semampunya.
عن بر يد ة قا للما خطب ءلي فا طمة قا ل رسو ل ا لله صلى ا لله ءليه و
سلم ا نه لا بد للعر س من و ليمة.
(رواه احمد)
“Dari Buraidah, ia berkata:”Ketika
Ali melamar Fatimah, Rasulullah SAW. Bersabda,
sesunggahnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.” (HR
Ahmad)
ا نه صلى ءليه و سلم اولم ءلى بعض نسا ئه بمد ين
من شعير. ( رواه البخا رى)
“ Rasulullah SAW. mengadakan
walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud gandum.” (HR Bukhari)
Beberapa hadis tersebut menunjukkan bahwa walimah itu boleh
diadakan dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal itu ditunjukkan oleh Nabi SAW.
Bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau melebihkan salah
satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit
atau lapang.
3.
Hukum Menghadiri
Undangan Walimah
Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang
yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya. Adapun
wajibnya mendatangi undangan walimah apabila:
a.
Tidak
ada udzur syar’i,
b.
Dalam
walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar,
c.
Tidak
membedakan kaya dan miskin,
4.
Bentuk walimah
Bentuk walimah yang sederhana, maksudnya yaitu
Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan pernikahan untuk mengadakan
walimah, tetapi tidak memberikan bentuk minimum atau bentuk maksimum dari
walimah itu.
Hal ini memberi isyarat bahwa walimah itu
diadakan sesuai dengan kemampuan seseorang yang melaksanakan perkawinannya,
dengan catatan, agar dalam pelaksanaan walimah tidak ada pemborosan,
kemubaziran, lebih-lebih dsertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri.
5.
Hikmah Walimah
1.
Merupakan
rasa syukur kepada Allah SWT,
2.
Tanda
penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya,
3.
Sebagai
tanda resminya adanya akad nikah,
4.
Sebagai
tanda memulai hidup baru bagi suami istri,
5.
Sebagai
realisasi arti sosiologi dari akad nikah,
6.
Sebagai
pengumuman bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami
istri sehingga masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh
kedua mempelai.
Disamping itu, dengan adanya walimatul Arsy kita dapat melaksanakan
perintah Rasulullah SAW, yang menganjurkan kaum muslimin untuk melaksanakan “walimatul
Arsy” walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing.
C.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA
Jika suami
sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah
ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnakanlah kebahagiaan hidup
berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai
dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah, warohmah.
1.
Hak Bersama Suami Istri
Dengan adanya akad
nikah, maka antara suami dan istri mempunyai hak dan tanggung jawab secara
bersama, yaitu:
a.
Suami
dan istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini merupakan
kebutuhan suami istri yang dihalalkan secara timbal balik. Mengadakan
kenikmatan hubungan merupakan hak bagi suami istri yang dilakukan secara
bersamaan.
b.
Haram
melakukan pernikahan. Artinya baik suami maupun istri tidak boleh melakukan
pernikahan dengan saudaranya masing-masing.
c.
Dengan
adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi apabila salah
seorang diantara keduanya telah meninggal meskipun belum bersetubuh.
d.
Anak
mempunyai nasab yang jelas.
e.
Kedua
pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan
dalam kedamaian hidup.
2.
Kewajiban Suami Istri
Dalam Kompilasi
Hukum Islam disebutkan bahwa, kewajiban suami istri adalah sebagai berikut:
a.
Suami
istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,mawadah,
warohmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b.
Suami
istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi
bantuan lahir batin.
c.
Suami
istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya serta pendidikan
agamanya.
d.
Suami
istri wajib memelihara kehormatannya.
e.
Jika
suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama.
3.
Hak Suami atas Istri
Diantara
beberapa hak suami terhadap istrinya, yang paling pokok adalah:
a.
Diataati
dalam hal-hal yang tidak maksiat,
b.
Istri
menjaga dirinya sendiri dan harta suami,
c.
Menjauhkan
diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami,
d.
Tidak
bermuka masam dihadapan suami,
e.
Tidak
menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.
4.
Kewajiban Suami terhadap Istri
Kewajiban suami terhadap istri mencakup kewajiban materi berupa
kebendaan dan kewajiban nonmateri yang bukan berupa kebendaan.
Kewajiban materi
berupa kebendaan, sesuai dengan penghasilannya, yaitu:
a.
Memberi
nafkah, pakaian, dan tempat tinggal,
b.
Biaya
rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak,
5.
Kewajiban Istri terhadap Suami
Diantara beberapa
kewajiban seorang istri terhadap suami adalah sebagai
berikut:
a.
Taat
dan petuh kepada suami,
b.
Pandai
mengambil hati suami,
c.
Mengatur
rumah dengan baik,
d.
Menghormati
keluarga suami,
Masalah hak dan
kewajiban suami istri dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam Bab VI pasal
30 sampai 34. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII pasal
77 sampai 84.
Pasal 30 UU
Perkawinan menyatakan “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Ketentuan
tersebut didasarkan firman Allah QS Ar-Rum ayat 21 yang artinya:
“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”.
Pasal
31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat,
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum,
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
Pasal 32 menegaskan:
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam pasal (1) ini ditentukan oleh
suami istri bersama.
Kemudian
pasal 33 menegaskan bahwa “Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”.
Sedangkan
pasal 34 menegaskan:
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya,
6.
Tentang Karir Wanita
Memang benar bahwa mencari nafkah bagi keluarga adalah kewajiban
tugas kaum pria. Namun wanita (seorang istri) juga harus mempunyai pekerjaan.
Dalam Islam, pengangguran dianggap tidak baik.
Pekerjaan yang paling baik untuk wanita yang sudah menikah adalah
mengurus rumah tangga, merawat anak, dan mau bekerja keras supaya dapat
mengubah rumah menjadi surga bagi anak-anak dan suaminya serta ini merupakan
pekerjaan yang berharga dan bernilai tinggi.
Rasulullah SAW menegaskan: “Jihad seorang wanita adalah melayani
suaminya dan merawatnya baik-baik”
Berikut ini adalah saran-saran untuk wanita yang ingin bekerja di
luar rumah:
a.
Rundingkan
dengan suami sebelum memulai suatu pekerjaan. Hak suami adalah untuk menerima
atau menolak keinginan istri.
b.
Kaum
wanita harus memperhatikan jilbab Islam bila tidak berada di rumah.
c.
Kaum
wanita harus berhati-hati, walaupun mereka bekerja di luar rumah, mereka tetap
diharapkan oleh suami dan anak-anaknya.
d.
Bila
mempunyai anak, maka ia harus menitipkan anak itu pada seorang yang baik dan
dapat dipercaya.
D.
NASAB DAN NAFKAH
1.
Pengertian Nafkah
Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut
keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya. Banyaknya
nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mncukupi keperluan dan kebutuhan serta
mengingat keadaan dan kemampuan suami. Firman Allah SWT
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ......
Artinya:
“Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya...” (Q.S Ath-Thalaq: 7)
Adapun hak belanja, yaitu kewajiban suami
untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangga yang menyangkut kebutuhan pangan. Suami
berkewajiban menafkahi istri untuk seluruh kebutuhan dapur, yakni memenuhi
belanja kebutuhan pokok atau sembako, membiayai pendidikan anak, kesehatan, dan
sebaiknya. Istri tidak wajib mencari
nafkah. Kalaupun istri bekerja, hal itu harus dilakukan atas izin suami dan
sifatnya membantu perekonomian rumah tangga. Jika suami tidak mngizinkan istri
bekerja, istri berkewajiban menaatinya, sebab jika tidak taat, istri dinyatakan
nusyuz. Larangan istri
bekerja adalah indikator bahwa suami memiliki kemampuan untuk menanggulangi
semua kebutuhan nafkah keluarga. Kewajiban suami memberi nafkah ditetapkan oleh
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233
n?tãur..... Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w
ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr .....
“... dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya....” (Q.S Al-
Baqarah:233)
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa kewajiban suami memberi nafkah kepada
istri karena alasan berikut:
a.
Adanya
ikatan perkawinan yang sah,
b.
Suami
telah menikmati tubuh istrinya,
c.
Istri
telah menyerahkan dirinya kepada suami,
d.
Istri
telah menaati kehendak suaminya,
2.
Jenis Pembagian Nafkah
a.
Nafkah
Kiswah
Nafkah kiswah artinya nafkah berupa pakaian atau sandang. Kiswah
ini merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Pakaian yang dimaksud adalah semua kebutuhan
yang erat hubungannya dengan anggota badan. Suami wajib memberikan nafkah
kiswah kepada istrinya berupa pakaian untuk menutup aurat dan berbagai
kebutuhan batiniahnya.
Di samping berupa pakaian, nafkah kiswah meliputi berupa hal-hal
sebagai berikut:
a)
Biaya
pemeliharaan jasmaniah istri,
b)
Biaya
pemeliharaan kesehatan,
c)
Biaya
kebutuhan perhiasan,
d)
Biaya
kebutuhan rekreasi,
e)
Biaya
pendidikan anak,
f)
Biaya
lain yang tidak terduga.
Karena suami telah melaksanakan kewajibannya
memenuhi nafkah kiswah, istri berhak untuk menjaga auratnya, menjaga
kemaluannya, tidak keluar rumah tanpa seizin suaminya, taat dalam beribadah
atau menjalankan perintah agama, dan mendidik
anak-anaknya dengan akhlak dan budi pekerti yang baik.
b.
Nafkah
Maskanah (Tempat Tinggal)
Tempat tinggal merupakan terget penting untuk diperoleh karena
keberadaan tempat tinggal berfungsi memberikan istri dan anak-anak rasa aman,
nyaman, dan tenteram.
Tempat tinggal yang baik adalah luas, cukup
untuk beristirahat, kamar tidak pengap, pintu dan jendela aman dari jangkauan
pencurian. Rumah yang baik adalah rumah yang sehat.
3.
Sebab-sebab yang Mewajibkan Nafkah
a. Sebab keturunan
Bapak
atau Ibu, kalau bapak tidak ada, wajib memberi nafkah kepada anaknya, begitu
juga kepada cucu, kalau dia tidak mempunyai bapak.
Istri
Abu Sufyan telah mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW. Dia berkata: “Abu
Sufyan seorang yang kikir, dia tidak memberi saya dan anak saya nafkah selain yang
saya ambil dengan tidak diketahuinya. Apakah yang demikian itu memadharatkan
saya?” jawab beliau: “Ambilah olehmu dari hartanya dengan baik, sekedar
untuk mencukupi keperluanmu dan anakmu”. (H.R Bukhari- Muslim)
Syarat
wajib nafkah atas kedua ibu bapak kepada anak ialah, apabila si anak masih
kecil dan miskin, atau sudah besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin pula,
begitu pula sebaliknya, anak wajib memberi nafkah kepada ibu bapaknya, apabila
keduanya tidak kuat lagi berusaha dan tidak mempunyai harta.
Firman Allah SWT dalam
surat Luqman ayat 15 menyebutkan:
$yJßgö6Ïm$|¹ur... Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ...
“...dan pergaulilah keduanya (ibu-bapak) di
dunia dengan baik...”(QS. Luqman:15)
Cara bergaul itu amat
banyak, ringkasnya adalah menjaga agar keduanya jangan sampai sakit hati atau
kesusahan, dan menolong keduanya dalam segala keperluannya.
b. Sebab pernikahan
Suami diwajibkan
memberi nafkah kepada istrinya yang taat. Baik makanan, pakaian, tempat
tinggal, perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut keadaan di tempat masing-
masing dan menurut kebutuhan suami.
Walaupun
sebagian ulama mengatakan bahwa nafkah istri itu ditetapkan dengan kadar yang
tertentu, tetapi yang mu’tamad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup
serta disesuaikan dengan keadaan suami. Keterangannya yaitu
hadits dari Abu Sufyan yang telah disebutkan di atas tadi, dan firman Allah SWT:
...
“Dan para wanita
mempunyai hak (nafkah) yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf”. (QS Al-Baqarah: 228)
Dari
ayat di atas jelaslah bahwa nikah seorang istri yang tidak taat (durhaka)
kepada suaminya, tidak berhak mendapatkan segala nafkah.
Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
“Takutlah
kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kamu mengambil mereka
dengan kepercayaan Allah, dan halal bagimu mencampuri mereka dengan kalimat
Allah, dan diwajibkan atas kamu (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada
mereka (istri- istri) dengan cara sebaik- baiknya (pantas)”. (H.R. Muslim)
Ayat
dan hadits tersebut tidak memberikan ketentuan kadar nafkah itu, dengan kata-
kata ma’ruf (pantas), berarti menurut keadaan suatu tempat dan
disesuaikan dengan kemampuan suami serta kedudukannya dalam masyarakat.
c. Sebab milik
Suami wajib memberi
nafkah kepada istri dan anak-anaknya, menjaga mereka, dan tidak memberi beban
yang terlalu berat kepada mereka.
d. Dasar- Dasar Menetapkan Jumlah Nafkah
Jika istri hidup
serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung nafkahnya, mengurus segala
kebutuhan, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan sebagainnya. Dalam
hal ini istri tidak berhak meminta nafkah dalam jumlah tertentu selama suami
melaksanakan kewajibannya itu.
Istri
boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik sekalipun tanpa
sepengetahuan suaminya untuk mencukupi kebutuhannya apabila suami melalaikan
kewajibannya. Bagi orang yang memiliki hak, ia boleh mengambil haknya sendiri
jika mampu melakukannya, dengan alasan sebuah yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Bukhari, dan Muslim, Abu Daud dan Anasai dari Aisyah yang telah dijelaskan diawal.
E.
PERWALIAN DAN HADHANAH
Perwalian dalam arti umum diartikan sebagai “segala sesuatu yang
berhubungan dengan wali”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“wali” mempunyai banyak makna, diantaranya ialah:
a. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban untuk
mengurus anak yatim dan hartanya sebelum ia dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan ketika ia akan menikah
c. Orang saleh (suci), penyebar agama.
d. Kepala pemerintah dan sebagainya.
1.
Pandangan Ulama-ulama Mengenai Wali
a.
Pandangan
Hanafiyah tentang Wali
Mahzab Hanafiyah menyandarkan pada paham rasional ketika membuat
suatu keputusan hukum. Dalam hal wali hanafiyah berpendapat bahawa ststus wali
hanyalah syarat perkawinan, bukan termasuk rukun. Ulama Hanafiyah meringkas
rukun nikah terdiri atas ijab dan qabul. Status wali menjadi
syarat sahnya perkawinan khusus anak kecil, adapun bagi orang dewasa yang sudah
baligh, baik janda maupun tidak berada pada kekuasaan wali, cukuplah bagi kedua
mempelai tersebut dengan akad nikah (ijab dan qabul) dengan syarat keduanya
kafaah. Rasionalitas tentang wali dalam pandangan mahzab Hanafiyah
didasarkan bahwa akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh sebab itu
syaratnya cukup dengan ijab dan qabul. Posisi wali hanya diperuntukan untuk
pasangan suami istri yang masih kecil.
Adapun hadis Nabi SAW yang dijadikan
sebagai dasar tidak diperuntukan wali dalam mazhab
Hanafi ialah salah satunya hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah Bukhari dari Ibnu ‘Abbas ia
berkata, telah bersabda Rasulullah SAW:
اَلثَّيِّبُ اَحَقُّ بِنَفْسٍهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَاءْ مَرُ
وَاِذْنُهَا سُكُوْتُهَا (رواه الجماعة الاالبخارى)
Artinya: “Janda-janda lebih berhak atas dirinya
ketimbang walinya, sedang gadis dimintai izinnya. Izinnya adalah diamnya.” (HR.
Jama’ah ahli hadits, kecuali Imam Bukhari)
Berdasarkan landasan tersebut, mazhab
Hanafi membagi wanita pada dua kriteria, pertama ia seorang janda dan kedua ia
seorang gadis. Bagi janda, wali bukan syarat perkawinan dan bagi gadis pun,
kedudukan wali hanya dimintai izinnya. Oleh sebab itu, dia tidak memerlukan
wali karena dia telah dewasa, dapat mengurus dirinya sendiri, dan dianggap
tidak perlu melibatkan orag lain (walinya), termasuk mengawinkan dirinya.
b.
Pandangan
Malikiyah tentang Wali
Imam malik, sebagaimana dikutip Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa
“Tidak terjadi pernikahan, kecuali dengan wali. Wali adalah syarat sahnya
pernikahan sebagaimana riwayat hadits Asyab”. Dasar
hukum yang digunakan Malikiyah adalah surat Al-Baqarah ayat 232 dan 221,
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mazhab
Maliki berpendapat, jika wanita yang sudah baligh dan berakal sehat itu masih
gadis, hak menikahkan dirinya ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda, hak itu
ada pada keduanya. Wali tidak boleh menikahkan janda tanpa adanya
persetujuanya, sebaliknya wanita itupun tidak boleh menikahkan dirinya tanpa
adanya restu sang wali. Urutan wali dalam mahzab Maliki sama dengan urutan wali
dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, yakni wali itu adalah ayah, penerima wasiat
dari ayah, anak laki-laki (sekalipun anak hasil zina) jika wanitanya mempuyai
anak, lalu berturut-turut: saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara
laki-laki, kakek, paman (saudar ayah) dan seterusnya sampai semuanya itu tidak
ada.
c.
Pandangan
Syafi’iyah tentang Wali
Mahzab Syafi’iyah dalam hal ini diwakili oleh Imam Taqiudin Abi
Bakar ibn Muhammad Al-Husaini Al- Husyna Ad-Dimsyiqi Asy-Syafi’i dalam kitabnya
Kifayatu Al-Akhyar fi Halli Gayat Al-Ikhtisyar, dijelaskan bahwa “wali
adalah sala satu rukun nikah, tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Dasar
wali yang digunakan mahzab Syafi’iyah salah
satunya adalah surat Al-Baqarah ayat 232
Menurut Imam Asy-Syafi’i, ayat ini jelas sekali menunjukan status wali
sebagai hal yang wajib dalam pernikahan. Secara umum Imam
Syafi’i membagi jenis wali menjadi tiga bagian, yaitu wali dekat (aqrab),
wali jauh (ab’ad) dan wali hakim. Dalam tulisan lain, urutan wali dalam
pandangan ulama Syafi’iyah adalah “Paling utama ialah ayah, kakek, saudara
laki-laki bapak dan ibu, saudara laki-laki ibu, anak saudara laki-laki ibu,
bibi, anak saudara laki-laki bapak, paman, anaknya paman dan seterusnya dari
pihak bapak”. Namun dalam mazhab Syafi’iyah
kedudukan ayah sebagai wali adalah mutlak dan paling utama.
d.
Pandangan
Hanabilah tentang Wali
Mazhab Hanabilah pada dasarnya sama dengan pandangan mazhab
Malikiyah dan Syafi’iyah. Ketiga mazhab ini
memandang wali adalah orang yang penting dalam pernikahan, tanpa wali atau
orang yang menggantikan wali maka pernikahan batal (tidak sah). Dasar hukum mazhab
Hanbali adalah surat An-Nur ayat 32.
Mazhab Hanbali kembali menegaskan bahwa pernikahan tanpa wali tidak sah
atau bathil karena wali adalah wajib dan termasuk diantara rukun-rukun nikah.
Susunan wali dalam mazhab Hanbali adalah: bapak, penerima wasiat jika bapak meninggal.
Hakim (sulthan) ketika diperlukan; mereka adalah wali mujbir
(yang memaksa); seterusnya wali akrab seperti dalam waris. Sedangkan yang
paling berhak menjadi wali adalah bapak, kakek, sampai garis keatas, anak
laki-laki, anak laki-laki (cucu) sampai kebawah.
2.
Perwalian dalam Kompilasi
Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam membahas secara terperinci tentang wali dan
perwalian pada BAB XV dan beberapa pasal lainnya
sebagai berikut:
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk
melakukan perwalian atas diri dan kekyaan anak atau anak-anaknya sesudah ia
meninggal dunia.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwalianya,
sepanjang diperlukan untuk kepentingan menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau
wali fakir.
Bagian ke Tiga
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon wanita yang bertindak untuk menikahkan.
Pasal 20
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.
3.
Definisi Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata ”Hidhan”, artinya lambung. Para ulama fiqih ulama mendefinisikan Hadhanah,
yaitu melalukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
perempuan, atau yang sudah besar atau mumayyiz, menyediakan sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu
berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa mengasuh adalah memelihara atau mendidik.
4.
Kedudukan Hukum Hadhanah
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, hadhanah
merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, hal ini tentu saja beralasan
karena mereka membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusanya dan orang
yang mendidiknya. Dan seseorang yang memiliki hak hadhanah ini adalah seorang
ibu, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Engkaulah (ibu) yang berhak terhadap anaknya”.
Apabila terjadi perceraian, selama ibunya belum menikah maka ibu-ibu
diutamakan untuk mengasuh anaknya, sebab seorang ibulah yang mampu mendidik
dengan sabar untuk anak-anaknya, dan ibulah yang lebih mengetahui atau peka
terhadap apa yang dibutuhkan oleh anaknya, maka dari itu peran seorang ibu
sangat penting dan tidak boleh diremehkan walaupun kadang seorang ibu hanya
sebagai ibu rumah tangga dan tidak bekerja di luar rumah.
Kalaupun ibunya sudah menikah lagi dengan orang lain sedangkan sang
anak belum mumayyiz , maka bapaknya yang lebih berhak mendidik kalau ia
meminta atau bersedia mendidiknya. Bila bapaknya tidak ada sang bibi (saudara
perempuan) lah yang mengambil alih dalam
mendidik anak ini.
5.
Syarat-syarat Hadhanah
Seorang ibu yang mengasuh anaknya tentulah harus memenuhi kriteria
ataupun persyaratan, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan
syarat-syarat tertentu,diantaranya adalah:
a)
Berakal
sehat. seorang ibu yang sehat jasmani dan rohaninya pastilah dapat di beri
amanah dalam mendidik anak-anaknya di banding dengan seorang ibu yang memiliki
gangguan kejiwaan.
b)
Dewasa.
Hal ini bertujuan untuk membantu seorang anak yang belum mumayyiz dalam
mengurus keperluanya.
c)
Mampu
mendidik. Intinya ialah orang yang tidak mengaibaikan urusan rumahnya sehingga
merugikan anak kecil yang ia urus.
d)
Amanah
dan berbudi. Karena seseorang yang curang tidak dapat dipercaya untuk
menunaikan kewajibanya dengan baik, bahkan dikhawatirkan anak yang ia asuh meniru
perilakunya tersebut.
e)
Islam.
Sebab hadhanah merupakan masalah perwalian, dimana seorang mukmin tidak boleh
di bawah
perwalian orang kafir, dan hal ini jelas-jelas dilarang oleh Allah SWT.
f)
Ibunya
belum menikah lagi. Jika si ibu telah menikah lagi maka hak Hadhanahnya
hilang.
g)
Merdeka.
Tidaklah seorang budak berhak mengurus anak-anaknya dikarenakan ia telah sibuk
dalam urusanya sendiri.
6.
Upah Hadhanah
Seorang ibu tidak berhak terhadap upah hadanah, seperti upah
menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama
masih dalam masa iddah. Karena dalam kondisi demikian dia masih mempuyai hak
nafkah masa iddah. Namun perempuan selain ibunya nerhak atas upah hadhanah
sejak ia menangani hadhanahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak
kecil dengan bayaran (upah). Akan tetapi apabila ada kerabat dari anak kecil
tersebut yang pandai mengasuhnya dan melakukanya dengan sukarela, sedangkan si
ibunya sendiri tidak mau mengasuhnya apabila tidak
dibayar, maka jika sang ayah mampu membayar, ayahnya ini boleh dipaksa untuk
membayar upah kepada sang ibu dan ia tidak boleh menyerahkan sang anak ini
kepada kerabatnya yang mampu mendidik dan mengasuhnya dengan sukarela.
7.
Waktu Berlakunya Hadhanah
Waktu hadhanah ini berakhir apabila sang anak sudah tidak lagi memerlukan
pelayanan untuk dirinya sendiri (dewasa). Dikalangan
ahli fiqih sendiri mengalami perbedaan pendapat dalam maslah waktu berakhinya
hadhanah ini, bahwasanya anak laki-laki tidak memerlukan hadhanah.
Sedangkan ada yang mengatakan 7 tahun,
sebagian lagi 9 tahun, dan yang lain 11 tahun. Dan 9 tahun untuk anak
perempuan.
Adapun lamanya mengasuh menurut pendapat beberapa mazhab
ialah:
a)
Imam
Syafi’i mengatakan lamanya mengasuh 7 tahun atau 8 tahun.
b)
Ulama-ulama
Hanafiyah, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa anak laki-laki sampai ia pandai
makan sendiri, dan berpakaian sendiri, sedang perempuan sampai ia haid. Sesudah
itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya.
c)
Imam
Maliki mengatakan bahwa, ibu berhak mengasuh anak perempuan sampai ia
menikah, sedangkan seorang bapak mengasuh anak laki-laki sampai ia baligh.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Tihami. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Pers.
Ahmad Saebani, Beni. 2001. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia.
Amin, Faishal dkk. 2016. Menyingkap Sejuta Permasalahan dalam FATH
AL-QARIB. Kediri: Anfa’ Press.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1983), hlm. 183-185`
Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Istri cet.
XIV, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 112-115
Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung,
Pustaka Setia, 2009), hlm.49
Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung,
Pustaka Setia, hlm. 181-184
Tidak ada komentar:
Posting Komentar