Total Tayangan Halaman

Rabu, 10 Mei 2017

Artikel Pendidikan Bukanlah Mengisi Gelas Kosong

BIODATA PESERTA LOMBA ARTIKEL
IMG20170306100454.jpg
No Peserta       : 05
Nama               : YAUMUL MARKHAMAH
TTL                 : Pekalongan, 17 Agustus 1996
Alamat             : Jl. Pemuda No.37 RT.7 RW.4 Desa Waru Lor Kec. Wiradesa
Kab. Pekalongan
Jenis Kelamin   : Perempuan
Agama             : Islam
Status               : Belum Nikah
Pekerjaan         : Mahasiswi

Riwayat Pendidikan:
·        RA Muslimat NU Waru Lor Wiradesa (2003)
·        SDN Waru Lor Wiradesa (2009)
·        SMPN 2 Wiradesa (2012)
·        SMAN 1 Wiradesa (2015)
·        IAIN Pekalongan (sedang berjalan)

Pengalaman Organisasi:
·        Spatra’s Youth Science Club
·        Akademi Berbagi Pekalongan

Moto Hidup     : Be Your Self


PENDIDIKAN BUKANLAH MENGISI GELAS KOSONG
Sebenarnya apa niat dari orang tua kita ketika memasukkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan? Tujuannya mengarah pada kehidupan yang lebih baik pastinya. Pendidikan yang menghasilkan kehidupan lebih baik bagi output-nya. Inilah yang belakangan sering terjadi di masyarakat khususnya Indonesia. Pendidikan hanya sekedar mencerdaskan intelektualnya saja. Anak didik tidak diberikan kebebasan menjadi manusia seutuhnya. Yang pada akhirnya menjadi manusia-manusia serakah yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Lantas, bagaimana seharusnya sebuah pendidikan tersebut? Pendidikan harus membebaskan anak didik,mengajarkan anak didik untuk menjadi manusia seutuhnya, menjadi khalifah di muka bumi.
Pendidikan yang membebaskan menurut Freire (2011; 9) seorang filsuf dan ahli pendidikan berkebangsaan Brazil, yakni pendidikan terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Kebebasan disini antara manusia yang satu dan manusia yang lainnya sama sekali tidak dibenarkan untuk saling mengekang dan menindas. Manusia bisa tertindas oleh bermacam-macam faktor, misalnya rezim yang otoriter, perbedaan kelas, warna kulit, gender, ras, atau stuktur sosial yang memperlakukan kelompok tertentu dengan tidak adil. Sehingga dalam hidupnya sangat terbatas.
Freire memahami betul bahwa orang-orang yang miskin sangat membutuhkan pendidikan, karena ia pernah mengalami langsung bagaimana getirnya kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar di tahun 1929. Gagasan Freire terutama yang terkait dengan pendidikan yang membebaskan. Gagasannya ini semakin mendapatkan ruang dan tempat untuk dikembangkan ketika pada tahun 1962 ia mendapat kesempatan mengajar 300 orang buruh kebun tebu yang buta huruf untuk bisa membaca dan menulis dan hanya dalam kurun waktu 45 hari saja. Apa yang dilakukan Freire berhasil dan akhirnya program perluasan budaya ini dikembangkan secara luas di Brazil. Pendidikan model Freire ini akan menimbulkan sebuah penindasan/dendam, karena gagasan ini ditujukan kepada kaum tertindas dan tidak menempatkan kaum yang tertindas itu berhadapan secara langsung dengan orang yang menindas.
Oleh para ahli gagasan Freire sering disebut sebagai pendidikan kritis. Karena pendidikan yang membebaskan merupakan suatu bentuk kritisme sosial. Tetapi memiliki makna bahwa pendidikan yang membebaskan ini merupakan momen kesadaran kritis manusia terhadap berbagai problem sosial yang ada di masyarakat.
Pendidikan yang semacam ini adalah hak bagi setiap anak tanpa terkecuali. Tidak ada manusia yang lebih layak untuk mendapaatkan pendidikan, sedangkan yang lain sengaja dijauhkan dari pendidikan.
Tetapi pada praktiknya pendidikan yang membebaskan ini tidak menempatkan guru pada posisi nomor satu dan murid pada nomor dua. Guru adalah pihak yang member dan murid adalah pihak yang menerima. Akan tetapi, lebih ditekankan pada proses tanya jawab dan diskusi.
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan suasana belajar dan prosespembelajarannya agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Dalam hal ini mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak didik ini adalah kunci penting diselenggarakannya sebuah proses pendidikan yang membebaskan. Dengan mengembangkan potensi, juga bisa mengendalikan diri dengan baik sehingga erat kaitannya dengan kematangan jiwa anak serta tingkat kecerdasan anak didik tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendidikan yang membebaskan terutama di masyarakat Indonesia memang menjadi tanggung jawab dan kewajiban Negara. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 3 “bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Disinilah sesungguhnya kita semua dapat mengambil peran untuk turut serta menyukseskan pendidikan di Indonesia. Dalam wilayah yang paling kecil (keluarga) agar mendukung proses pendidikan secara maksimal. Sebagus apa pun pendidikan yang digerakkan oleh Negara bila tidak didukung oleh keluarga yang ada, maka akan sulit mencapai keberhasilan.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan di negeri ini, bahwa masih banyak sekolah di daerah yang boleh dikatakan sebagai sekolah miskin. Betapa tidak, ada sekolah yang dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah jebol, meja dan kursi tampak reyot, dan prasarana yang tidak memadai. Dari masalah tersebut maka proses pembelajaran pun tidak maksimal. Sangat berbeda jauh dengan sekolah di kota-kota besar yang sarana dan prasarana sudah memadai. Sungguh, hal ini memang perlu diperhatikan dan dipenuhi. Pemerintah juga berkewajiban melakukan pemerataan dan perbaikan sekolah-sekolah yang jauh dari memadai.
Terdapat sebuah istilah “orang miskin disiksa di negeri sendiri” begitulah nasib bagi orang miskin menjadi sendirian di tengah-tengah masyarakat yang mengalami siksaan. Keluhan yang mucul disebabkan gara-gara tidak mampu bayar SPP, biaya pendidikan itu mahal, seekolah untuk beli buku, dan lain-lain. Sehingga posisi orang miskin yang seperti itu bisa dikatakan terasingkan dan terlantarkan. Untuk itu,perlu dibangkitkan kembali semangat untuk memperoleh pendidikan yang semestinya.
Pendidikan bukan menjauhkan manusia dari manusia lain, melainkan justru mengembangkan kesadaran kemanusiaan. Pendidikan yang seperti ini adalah sebuah proses dalam membangun kesadaran anak didik agar tidak terjerumus dari realita sosial. Dengan demikian, anak didik itu bukan malah terjauhkan dari kenyataan hidup, melainkan mampu menghadapi persoalan hidupnya dengan baik sekaligus tanpa meninggalkan hakikat kemanusiaannya.
Menurut Bernhand Adeney dalam tulisannya di Basis yang berjudul “Pendidikan Kritis yang Membebaskan” ada kecenderungan sosial di Indonesia untuk memaksa semua orang supaya berpikir sama. Memang,perbedaan budaya dan agama tidak bisa diabaikan begtu saja. Akan tetapi, kesamaan-kesamaan harus ditingkatkan dan perbedaan-perbedaan harus dikecilkan. Sebagai contoh yang sederhana, mengenai seragam sekolah.
Pendidikan kritis yang diperlukan yaitu pendidikan kritis terhadap status quo, sikap kritis yang bertanggung jawab, bukan sikap kritis yang mengutamakan ego saja. Artinya yang tidak hanya kritis terhadap pemerintah, tetapi juga menyangkut permasalahan ekonomi, sosial, maupun gerakan politik, dan lain-lain.
Sebuah pendidikan bukanlah memberikan banyakpelajaran kepada anak didik hingga ia menguasai banyak ilmu pengetahuan. Sama sekali bukan. Bila demikian yang terjadi, seperti yang dikatakan sebelumnya siswa akan selalu menjadi objek sedangkan guru yang menjadi subjek. Maka sangat dibutuhkan seorang pendidik yang jeli dan bisa membaca kebutuhan apa saja yang diperlukan anak didik sekaligus potensi yang bagaimana yang dimiliki tiap anak didik.
Jadi penekanannya, anak didik bukanlah robot-robot yang siap dijadikan apa saja setelah melalui proses pembelajaran oleh guru. Pemahaman tersebut sering keliru. Apalagi jika ada anak yang dipaksa oleh orang tuanya, misalnya untuk kuliah di fakultas teknik dan itu sangat tidak disukai oleh anaknya yang berkeinginan di fakultas seni. Pada akhirnya yang terjadi pada si anak setelah lulus tidak ada perkembangan sama sekali, karena tidak sesuai dengan cita-citanya.
Jika pendidikan masih memberlakukan anak didik ibarat mengisi gelas kosong, pendidikan bertugas mengisi air ilmu pengetahuan sehingga gelas itu penuh. Dan bila sudah penuh, maka berhasillah pendidikan itu. Artinya sebagai gelas kosong yang akan diisi apa saja sesuai dengan kehendak orang tua dan orang-orang yang memiliki kebijakan di bidang pendidikan, maka hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang jauh dari merdeka. Mereka hanyalah manusia yang dicetak untuk menjadi pelaku industry di dunia kapitalisme atau bisa dikatakan dalam kepentingan kekuasaan yang ada pada sebuah lembaga atau instansi.
Apabila sudah demikian, pengertian, pemahaman, dan kesadaran akan ilmu pengetahuan yang diberiakn oleh guru kepada anak didik sudah bukan hal yang penting lagi. Ciri pendidikan yang seperti itu biasanya lebih mengajarkan pada menghafal daripada memahami, pilihan ganda daripada esai.
Tentu saja kita tidak mau menginginkan model pendidikan yang seperti itu. Kita menginginkan sebuah pendidikan yang membebaskan, sehingga anak didik dapat menjadi manusia yang lebih tercerahkan. Pendidikan yang membebaskan sangat menghargai proses daripada hasil. Proses yang terjadi dilakukan penuh kesabaran dan kesadaran dalam memperoleh pemahaman akan ilmu pengetahuan itu jauh lebih penting dari hafalan-hafalan akan teori ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, pendidikan tak sama dengan mengisi gelas kosong anak didik dengan ilmu pengetahuan bermakna pendidikan yang menghargai betapa pentingnya anak didik dalam berproses belajar agar memiliki sikap yang beretika baik ketika menghadapi permasalahan.
Di sinilah penting bagi peran orang tua, peran guru, atau siapa saja yang bergerak dibidang pendidikan untuk mengevaluasi dengan jujur apakah pendidikan yang selama ini dijalankannya telah benar-benar memberikan kebebasan kepada anak didik untuk belajar atau justru membelenggunya.  


Tidak ada komentar: