BIODATA PESERTA LOMBA ARTIKEL
No
Peserta : 05
Nama : YAUMUL MARKHAMAH
TTL : Pekalongan, 17 Agustus 1996
Alamat : Jl.
Pemuda No.37 RT.7 RW.4 Desa Waru Lor Kec. Wiradesa
Kab. Pekalongan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum
Nikah
Pekerjaan : Mahasiswi
Riwayat Pendidikan:
·
RA
Muslimat NU Waru Lor Wiradesa (2003)
·
SDN
Waru Lor Wiradesa (2009)
·
SMPN
2 Wiradesa (2012)
·
SMAN
1 Wiradesa (2015)
·
IAIN
Pekalongan (sedang berjalan)
Pengalaman Organisasi:
·
Spatra’s
Youth Science Club
·
Akademi
Berbagi Pekalongan
Moto Hidup : Be Your Self
PENDIDIKAN BUKANLAH MENGISI GELAS
KOSONG
Sebenarnya
apa niat dari orang tua kita ketika memasukkan anaknya ke sebuah lembaga
pendidikan? Tujuannya mengarah pada kehidupan yang lebih baik pastinya.
Pendidikan yang menghasilkan kehidupan lebih baik bagi output-nya.
Inilah yang belakangan sering terjadi di masyarakat khususnya Indonesia.
Pendidikan hanya sekedar mencerdaskan intelektualnya saja. Anak didik tidak
diberikan kebebasan menjadi manusia seutuhnya. Yang pada akhirnya menjadi
manusia-manusia serakah yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Lantas,
bagaimana seharusnya sebuah pendidikan tersebut? Pendidikan harus membebaskan
anak didik,mengajarkan anak didik untuk menjadi manusia seutuhnya, menjadi
khalifah di muka bumi.
Pendidikan
yang membebaskan menurut Freire (2011; 9) seorang filsuf dan ahli pendidikan
berkebangsaan Brazil, yakni pendidikan terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya
menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Kebebasan disini antara manusia
yang satu dan manusia yang lainnya sama sekali tidak dibenarkan untuk saling
mengekang dan menindas. Manusia bisa tertindas oleh bermacam-macam faktor,
misalnya rezim yang otoriter, perbedaan kelas, warna kulit, gender, ras, atau
stuktur sosial yang memperlakukan kelompok tertentu dengan tidak adil. Sehingga
dalam hidupnya sangat terbatas.
Freire
memahami betul bahwa orang-orang yang miskin sangat membutuhkan pendidikan,
karena ia pernah mengalami langsung bagaimana getirnya kemiskinan dan kelaparan
pada masa Depresi Besar di tahun 1929. Gagasan Freire terutama yang terkait
dengan pendidikan yang membebaskan. Gagasannya ini semakin mendapatkan ruang
dan tempat untuk dikembangkan ketika pada tahun 1962 ia mendapat kesempatan
mengajar 300 orang buruh kebun tebu yang buta huruf untuk bisa membaca dan
menulis dan hanya dalam kurun waktu 45 hari saja. Apa yang dilakukan Freire
berhasil dan akhirnya program perluasan budaya ini dikembangkan secara luas di
Brazil. Pendidikan model Freire ini akan menimbulkan sebuah penindasan/dendam,
karena gagasan ini ditujukan kepada kaum tertindas dan tidak menempatkan kaum
yang tertindas itu berhadapan secara langsung dengan orang yang menindas.
Oleh
para ahli gagasan Freire sering disebut sebagai pendidikan kritis. Karena
pendidikan yang membebaskan merupakan suatu bentuk kritisme sosial. Tetapi
memiliki makna bahwa pendidikan yang membebaskan ini merupakan momen kesadaran
kritis manusia terhadap berbagai problem sosial yang ada di masyarakat.
Pendidikan
yang semacam ini adalah hak bagi setiap anak tanpa terkecuali. Tidak ada
manusia yang lebih layak untuk mendapaatkan pendidikan, sedangkan yang lain
sengaja dijauhkan dari pendidikan.
Tetapi
pada praktiknya pendidikan yang membebaskan ini tidak menempatkan guru pada
posisi nomor satu dan murid pada nomor dua. Guru adalah pihak yang member dan
murid adalah pihak yang menerima. Akan tetapi, lebih ditekankan pada proses tanya
jawab dan diskusi.
Berdasarkan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan suasana belajar
dan prosespembelajarannya agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Dalam
hal ini mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak didik ini adalah kunci
penting diselenggarakannya sebuah proses pendidikan yang membebaskan. Dengan
mengembangkan potensi, juga bisa mengendalikan diri dengan baik sehingga erat
kaitannya dengan kematangan jiwa anak serta tingkat kecerdasan anak didik
tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendidikan yang membebaskan terutama di
masyarakat Indonesia memang menjadi tanggung jawab dan kewajiban Negara. Hal
ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 3 “bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Disinilah
sesungguhnya kita semua dapat mengambil peran untuk turut serta menyukseskan
pendidikan di Indonesia. Dalam wilayah yang paling kecil (keluarga) agar
mendukung proses pendidikan secara maksimal. Sebagus apa pun pendidikan
yang digerakkan oleh Negara bila tidak didukung oleh keluarga yang ada, maka
akan sulit mencapai keberhasilan.
Kita
tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan di negeri ini, bahwa masih banyak
sekolah di daerah yang boleh dikatakan sebagai sekolah miskin. Betapa tidak,
ada sekolah yang dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah jebol, meja dan
kursi tampak reyot, dan prasarana yang tidak memadai. Dari masalah tersebut
maka proses pembelajaran pun tidak maksimal. Sangat berbeda jauh dengan sekolah
di kota-kota besar yang sarana dan prasarana sudah memadai. Sungguh, hal ini
memang perlu diperhatikan dan dipenuhi. Pemerintah juga berkewajiban melakukan
pemerataan dan perbaikan sekolah-sekolah yang jauh dari memadai.
Terdapat
sebuah istilah “orang miskin disiksa di negeri sendiri” begitulah nasib bagi
orang miskin menjadi sendirian di tengah-tengah masyarakat yang mengalami
siksaan. Keluhan yang mucul disebabkan gara-gara tidak mampu bayar SPP, biaya
pendidikan itu mahal, seekolah untuk beli buku, dan lain-lain. Sehingga posisi
orang miskin yang seperti itu bisa dikatakan terasingkan dan terlantarkan.
Untuk itu,perlu dibangkitkan kembali semangat untuk memperoleh pendidikan yang
semestinya.
Pendidikan
bukan menjauhkan manusia dari manusia lain, melainkan justru mengembangkan
kesadaran kemanusiaan. Pendidikan yang seperti ini adalah sebuah proses dalam
membangun kesadaran anak didik agar tidak terjerumus dari realita sosial.
Dengan demikian, anak didik itu bukan malah terjauhkan dari kenyataan hidup,
melainkan mampu menghadapi persoalan hidupnya dengan baik sekaligus tanpa
meninggalkan hakikat kemanusiaannya.
Menurut
Bernhand Adeney dalam tulisannya di Basis yang berjudul “Pendidikan
Kritis yang Membebaskan” ada kecenderungan sosial di Indonesia untuk memaksa
semua orang supaya berpikir sama. Memang,perbedaan budaya dan agama
tidak bisa diabaikan begtu saja. Akan tetapi, kesamaan-kesamaan harus
ditingkatkan dan perbedaan-perbedaan harus dikecilkan. Sebagai contoh yang
sederhana, mengenai seragam sekolah.
Pendidikan
kritis yang diperlukan yaitu pendidikan kritis terhadap status quo, sikap
kritis yang bertanggung jawab, bukan sikap kritis yang mengutamakan ego saja.
Artinya yang tidak hanya kritis terhadap pemerintah, tetapi juga menyangkut
permasalahan ekonomi, sosial, maupun gerakan politik, dan lain-lain.
Sebuah
pendidikan bukanlah memberikan banyakpelajaran kepada anak didik hingga ia
menguasai banyak ilmu pengetahuan. Sama sekali bukan. Bila demikian yang
terjadi, seperti yang dikatakan sebelumnya siswa akan selalu menjadi objek
sedangkan guru yang menjadi subjek. Maka sangat dibutuhkan seorang pendidik
yang jeli dan bisa membaca kebutuhan apa saja yang diperlukan anak didik
sekaligus potensi yang bagaimana yang dimiliki tiap anak didik.
Jadi
penekanannya, anak didik bukanlah robot-robot yang siap dijadikan apa saja
setelah melalui proses pembelajaran oleh guru. Pemahaman tersebut sering
keliru. Apalagi jika ada anak yang dipaksa oleh orang tuanya, misalnya untuk
kuliah di fakultas teknik dan itu sangat tidak disukai oleh anaknya yang
berkeinginan di fakultas seni. Pada akhirnya yang terjadi pada si anak setelah
lulus tidak ada perkembangan sama sekali, karena tidak sesuai dengan
cita-citanya.
Jika
pendidikan masih memberlakukan anak didik ibarat mengisi gelas kosong,
pendidikan bertugas mengisi air ilmu pengetahuan sehingga gelas itu penuh. Dan
bila sudah penuh, maka berhasillah pendidikan itu. Artinya sebagai gelas kosong
yang akan diisi apa saja sesuai dengan kehendak orang tua dan orang-orang yang
memiliki kebijakan di bidang pendidikan, maka hanya akan menghasilkan
manusia-manusia yang jauh dari merdeka. Mereka hanyalah manusia yang dicetak
untuk menjadi pelaku industry di dunia kapitalisme atau bisa dikatakan dalam
kepentingan kekuasaan yang ada pada sebuah lembaga atau instansi.
Apabila
sudah demikian, pengertian, pemahaman, dan kesadaran akan ilmu pengetahuan yang
diberiakn oleh guru kepada anak didik sudah bukan hal yang penting lagi. Ciri
pendidikan yang seperti itu biasanya lebih mengajarkan pada menghafal daripada
memahami, pilihan ganda daripada esai.
Tentu
saja kita tidak mau menginginkan model pendidikan yang seperti itu. Kita
menginginkan sebuah pendidikan yang membebaskan, sehingga anak didik dapat
menjadi manusia yang lebih tercerahkan. Pendidikan yang membebaskan sangat
menghargai proses daripada hasil. Proses yang terjadi dilakukan penuh kesabaran
dan kesadaran dalam memperoleh pemahaman akan ilmu pengetahuan itu jauh lebih
penting dari hafalan-hafalan akan teori ilmu pengetahuan.
Dengan
demikian, pendidikan tak sama dengan mengisi gelas kosong anak didik dengan
ilmu pengetahuan bermakna pendidikan yang menghargai betapa pentingnya anak
didik dalam berproses belajar agar memiliki sikap yang beretika baik ketika
menghadapi permasalahan.
Di
sinilah penting bagi peran orang tua, peran guru, atau siapa saja yang bergerak
dibidang pendidikan untuk mengevaluasi dengan jujur apakah pendidikan yang
selama ini dijalankannya telah benar-benar memberikan kebebasan kepada anak
didik untuk belajar atau justru membelenggunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar